Seperti halnya
suku-suku bangsa lainnya di Indonesia ini, maka penghuni pertama di Nusa
Tenggara Barat juga berasal dari Asia Tenggara. Sebagian besar penduduk di Nusa
Tenggara Barat bertempat tinggal di pulau Lombok dan penduduk asli ini disebut
suku bangsa Sasak. Sedangkan penduduk asli di Pulau Sumbawa dibagi 2 golongan
yaitu yang mendiami Kabupaten Sumbawa disebut suku bangsa Sumbawa atau
dikalangan rakyat lebih dikenal dengan sebutan Samawa dan suku bangsa Bima
(dikalangan penduduk lebih terkenal dengan sebutan dou Mbojo) yang
mendiami kabupaten Bima dan Dompu yang dapat dibagi lagi menjadi penduduk asli
Donggo Timur berdiam dipegunungan Lambitu dan penduduk asli Donggo barat
mendiami daerah sekitar pegunungan Soromandi. Adapun penduduk pendatang berasal
dari Bali, Sulawesi selatan, Jawa, Kalimantan, Sumatera, Maluku dan Nusa
Tenggara Timur. Pendatang dari Sulawesi selatan, pada umumnay berdiam di daerah
pesisir baik di pulau Lombok maupun di pulau Sumbawa yang sebagian besar mereka
ini adalah pelaut dan pedagang. Percampuran antara penduduk asli dengan
pendatang di daerah ini telah berjalan sejak lama, sehingga terjadi percampuran
darah antara suku Sasak, Bali, Sumbawa, Bima, Sulawesi dan sebagainya sehingga
menciptakan penduduk Indonesia asli.
Dari berbagai sumber lisan dan tulisan (lontar dan babad), dapat kita ketahui berbagai
nama untuk pulau Lombok. Nama Lombok ini kita jumpai dalam Negarakartagama (Decawanana).
Dalam lontar itu Lombok Mirah untuk Lombok Barat dan Sasak Adi untuk
Lombok Timur. Dari sumber lisan, pulau ini dinamakan pulau Sasak, oleh karena
Pulau ini dizaman dulu ditumbuhi hutin belantara yang sangat rapat, merupakan
dinding. Dari kata Seksek inilah timbul nama Sasak untuk pulau
ini. Dr. C.H. Goris menguraikan arti kata sasak secara etimologis: Sasak adalah
kata Sanskerta, yang berasal dari kata Sak = Pergi, Saka = Asal. Jadi orang
Sasak adalah orang yang pergi dari negeri asal dengan memakai rakit sebagai
kendaraan, pergi dari jawa dan mengumpul memaki rakit sebagai kendaraan, pergi
dari Jawa dan mengumpul di Loombok. Pendapat Goris ini dibuktikan dengan
silsilah para bangsawan, hasil sastra tertulis yang digubah dalam bahasa Jawa
Madya dan berhuruf Jejawan (huruf sasak).
Masih mengenai nama Sasak untuk nama Pulau Lombok ini kami kemukakan pendapat
Dr. Van Teeuw, yang mengatakan bahwa Sasak itu berasal dari keadaan penduduk
asli Pulau ini yang memaki kain Tembasaq (kain putih). Perulangan
dari kata tembasaq menjadi Saqsaq = sasak. Bagi kami sendiri kemungkinan
kata Sasak ini untuk nama pulau Lombok ialah dari nama kerajaan yang
pertama-tama ada di Lombok.
Kerajaan Sasak menurut P. De Roo De La Faille berada di bagian barat daya dari
Pulau Lombok. Apakah Negara Sasak itu yang kemudian berkembang menjadi kerajaan
Kedarao? Kalau Teeuw sendiri menduga kerajaan Sasak itu terletak di
bagian tenggara dari Pulau Lombok. Memang agak rumit mengikuti pekembanan
nama itu sebaba riwayat tertulis tidak ada.
Menurut sebuah brosur yang ditulis oleh Kanda Ditjen Kebudayaan Provinsi Bali,
bahwa di Pujungan Tabanan Balai terdapat sebuah tongtong perunggu yang
dikeramatkan penduduk. Tongtong itu bertuliskan huruf kwadrat yang
bunyinya : sasak dana prihan, sirih javanira. Katanya mengingatkan
kemenangan atas negeri sasak. Tongtong itu ditulis setelah Anak Wungsu,
jadi berarti kira-kira pada awal abad ke-12.
Dalam babad Sangupati pulau Lombok terekenal dengan nama Pulau Meneng
(=sepi). Kemungkinan pulau Lombok di waktu itu penduduknya masih
jarang. Sampai akhir abad ke-19 nama pulau Lombok lebih terkenal dengan nama
Selaparang, menurut nama suatu kerajaan yang terletak di Lombok Timur yang
berkembang sampai pertengahan abad ke-14. Kerajaan ini semula bernama Watu
Parang, kemudian berubah menjadi Selaparang (bahasa kawi: sela = batu,
parang = karang).
Dalam suatu
memori tentang kedatangan Gajah Mada di Lombok, waktu itu pulau itu disebut
dengan nama Selapawis (bahasa kawi: Sela = batu, pawis =
ditaklukkan). Selapawis = batu yang telah ditaklukkan.
Mengenai nama Lombok masih kami uraikan berdasarkan babad Lombok. Dalam babad
itu disebutkan bahwa raja yang memerintah seluruh Pulau ini bernama Lombok dan berkedudukan
di sebuah teluk yang indah, yang tempat kedudukan itu dinamai menurut nama
Baginda ialah Lombok. Seluruh wilayah kekuasaannya juga disebut Lombok. Pada
masa itu selat Alas ramai dilayari oleh kapal dan perahu-perahu yang singgah di
pelabuhan itu untuk membongkar dan memuat barang-barang dan mengisi air minum.
Di Teluk itu sampai sekarang terdapat sumber mata air beberapa buah banyaknya.
Dalam sejarah VOC pertama kali diberitaka oleh Steven van der Hagen pada tahun
1603, bahwa di Lombok terdapat banyak beras yang murah dan hampir setiap hari
diangkut ke Bali dengan sampan. Maka tidak mustahil bahwa yang mempopulerkan
nama Lombok ini adalah orang luar. Bagi penduduk asli sendiri lebih popular
untuk nama daerah mereka Gumi Sasak atau Gumi Selaparang.
Kemudian dari penemuan arkeologis dapat kita ketahui bahwa kira-kira pada akhir
jaman perunggu, enam abad yang lampau pulau Lombok bagian selatan telah dihuni
oleh sekelompok manusia yang kebudayaanya sama dengan penduduk di Vietnam
Selatan. Di Gua Tabon dan Gua Sasak di Pulau Pallawan (Filipina Tengah),
Gilimanuk (Bali), Malolo (Sumba). Tepatnya pemukiman itu ialah di Gunung
Piring, desaTrowai, kecamatan Pujut, Lombok Tengah.
Menurut Drs. M.M Sukarto dan Prof. Solheim guru besar di Universitas Hawai,
kebudayaan mereka yang di Gunung piring itu termasuk ke dalam Shan Huyn
Kalanny Pottery Tradition. Juga masih di Lombok Selatan banyak terdapat
menhir dan gua bekasa pemujaan dan pemukiman atau pekuburan purba.
2.Pulau Sumbawa.
Mengetahui keadaan pulau ini di jaman prasejarah lebih sulit dari Lombok. Dari
berbagai peninggalan sisa-sisa kebudayaan seperti kompleks sarkofaq di
Aikrenung, desa Batutering, kecamatan Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa, nekara di
pulau sangiang, kabupaten Bima, dan di Seran, kabupaten Sumbawa, kompleks
lesung batu di Rora Bima, chopper dan flaxes di sikrenung
kabupaten Sumbawa menunjukan bahwa pulau ini sejak lama telah dihuni oleh
manusia yang mempunyai kebudayaan yang tua seperti disebut diatas. Menurut para
ahli antara suku bangsa Bima dan suku bangsa Sumbawa pernah putus hubungannya
berabad-abad lamanya.
Sumbawa barat pernah terkenal dengan nama pulau nasi. Menurut dugaan
mungkin daerah ini di jaman dulu pernah menghasilkan padi yang banyak. Tetapi
setelah abad ke-16 padi banyak didatangkan dari pulau Lombok seperti
pemberitaan De Roo. Dalam sebutan rakyat Sumbawa terkenal dengan nama samawa.
Penduduknya oun disebut tau samawa. Sedangkan Sumbawa Tengah terkenal
dengan nama Dompu. Sumbawa Timur terkenal dengan Mbojo. Kata Mbojo
berasal dari kata babuju yaitu tanah yang ketinggian yang merupakan busut
jantan yang agak besar, tempat bersemayam raja-raja ketika dilantik dan di
sumpah, yang terletak di Dara. Mbojo juga terkenal dengan nama Bima menurut
nama leluhur raja-raja Bima dan Dompu yang pertama.
Tanda
Plat Nomor Kendaraan
: DR (Lombok), EA (Sumbawa)
Provinsi
Nusa Tenggara Barat (NTB) Ibukota nya adalah Mataram
Pelabuhan
Laut : Lembar,
Khayangan,Pototano,Sape
Pahlawan : -
Luas
Wilayah : 20.153,15 km².
Letak : Kepulauan Nusa Tenggara (
8ºLS-10ºLS dan 115º-120ºBT )
Dasar
Hukum :
UU.No.64/1968
Berdiri
: 14 Agustus 1958
Bandar
Udara : Bandar
Udara Internasional Peraya Lombok Tengah (menggantikan fungsi dari Bandara
Selaparang Mataram)
Perguruan
Tinggi Negeri
dan Swasta : Universitas Mataram (UNRAM) , Universitas Muhammadiyah
Mataram (UMM)
Makanan
Khas Daerah
: Pelcing,Pecel,Gecak Sape, Ayam Taliwang,dll.
Obyek Wisata : Gunung Anak Segeranak, Gili Terawangan,Pantai Kuta (Loteng),Istana Sultan Bima, Gili Meno, Pusa Lingsar, Suranadi, Pulau Moyo, Danau Lebok Taliwang, Pura Meru, Pantai Sira, Pantai Senggigi, Batu Bolong, Gunung Pengsong, Dalam Loka Taman Maruya, Gunung Tambora, Liang Petang,dll.
Obyek Wisata : Gunung Anak Segeranak, Gili Terawangan,Pantai Kuta (Loteng),Istana Sultan Bima, Gili Meno, Pusa Lingsar, Suranadi, Pulau Moyo, Danau Lebok Taliwang, Pura Meru, Pantai Sira, Pantai Senggigi, Batu Bolong, Gunung Pengsong, Dalam Loka Taman Maruya, Gunung Tambora, Liang Petang,dll.
Peninggalan
Sejarah :
1. Pura Meru, peninggalan
Kerajaan Singosari dibangun oleh Anak Agung Gede Karang pada tahun 1720 masehi.
2. Dalam Loka, bekas Keraton Sumbawa.
3. Istana Sultan Bima,
peninggalan dari Kesultanan Bima.
Industri
dan Pertambangan :
Emas, Perak, dan Mangan.
Tarian Tradisional : Tari Mpaa Lenggogo, Tari Batunganga
Rumah Adat : Rumah Istana Sultan Sumbawa Senjata Tradisional : Keris
Tarian Tradisional : Tari Mpaa Lenggogo, Tari Batunganga
Rumah Adat : Rumah Istana Sultan Sumbawa Senjata Tradisional : Keris
Lagu Daerah : Helele U Ala De Teang,
Moree, Orlen-Orlen, Pai Mura Rame, Tebe Onana, Tutu Koda
Suku
: Bali, Sasak,
Samawa, Mata, Dongo, Kore, Mbojo, Dompu, Tarlawi, dan Sumba Bahasa Daerah : Sasak,
Bali, Sumbawa, Bima Pakaian Adat : Sasak,Sumbawa,Bima, Dompu
Identitas Daerah : Flora : Ajan Kelincung (Diopsyros Marcrophylia), Fauna : Rusa Timur (Cervus Komodoenci)
Identitas Daerah : Flora : Ajan Kelincung (Diopsyros Marcrophylia), Fauna : Rusa Timur (Cervus Komodoenci)
Alat
Musik Tradisional : SERUNAI (sumber bunyi : Areofon , DITIUP SAMBIL MEMAINKAN
NADA DENGAN MENGGUNAKAN JARI PADA LUBANG-LUBANGNYA), Cungklik.
Mau
tahu Asal usulnya berikut ini :
Lombok adalah
nama yang berarti cabe dalam bahasa Jawa dan juga merupakan salah satu pulau
yang ada di Kepulauan Nusa Tenggara Barat. Di kepulauan Lombok ini terdapat
suku bangsa yang bernama Sasak. Dari bahasa dearah suku sasak di daerah sana
Lombok di baca “ Lombo “ artinya lurus dan suku bangsa sasak berarti perahu
bercadik. Ikutilah cerita berikut ini tentang Asal Usul Pulau Lombok dan suku
Sasak di daerah sana. Dahulu kala, Kerajaan Mataram di Jawa Tengah dipimpin
oleh seorang raja wanita yang ahli dalam pemerintahan dan bernama Pramudawardhani.
Suaminya Rakai Pikatan dia ahli dalam ahli peperangan. Wilayah kekuasaannya
terbentang luas di daratan Jawa dan sekitarnya. Ketika itulah banyak rakyat
Mataram pergi berlayar ke arah timur melalui Laut Jawa menggunakan perahu
bercadik. Konon mereka berlayar ke arah timur untuk menghindari pekerjaan berat
yang sedang berlangsung. Karena pada zaman itu Candi – candi seperti Candi
Borobudur, Candi Prambanan, dan Candi Kalasan sedang dibangun. Demikianlah
mereka berlayar terus ke arah timur hingga menemukan sebuah daratan dan mereka
berlabuh di daratan tersebut, daratan tempat mereka berlabuh tersebut diberi
nama Lomboq (lurus), untuk mengenang perjalanan panjang. Setelah beberapa waktu
berlanjut, Lomboq menjadi nama dearah di sana dan lama kelamaan daerah sana
berubah namanya menjadi Lombok. Dan Karena orang yang pertama kali menemukan
pulau tersebut dengan berlayar ke timur menggunakan perahu cadik, maka suku
dearah sana di beri nama Orang Sasak yang berarti bercadik. Karena telah lama
tinggal disana, mereka mulai terbiasa dengan penduduk asli yang tinggal disana.
Waktu berlalu cukup lama dan kemudian mereka mendirikan kerajaan Lombok termpat
kerajaan itu sekarang disebut labuhan Lombok. Kerajaan Lombok menjadi besar
banyak pedangan yang berdatangan disana para pedagang dari Tuban, Gresik,
Makasar, Banjarmasin, Ternate, Tidore, bahkan Malaka. Hingga akhirnya Kerajaan
Lombok diserang oleh kerajaan Majapahit dan akhirnya kalah. Tetapi Raja dan
permaisurinya dapat melarikan diri dan mendirikan kerajaan baru Yang diberi
nama Watuparang di sebuah Gunung. Pulau Lombok yang memiliki luas 473.780
hektare ini tak hanya menyimpan kekayaan wisata alam semata. Bicara Pulau
Lombok maka pikiran menerawang ke hamparan pantai Senggigi yang eksotis, indah,
dan menawan. Pantai berpasir putih dengan deburan ombak kecilnya ini sayang
untuk dilewatkan. Tak heran bila banyak wisatawan mancanegara maupun wisatawan
Nusantara menyinggahinya. Akhirnya dengan berlalunya waktu nama lomboq berubah
menjadi lombok dan suku sak – sak di sana berubah namanya menjadi Sasak. di
Mataram, ibu kota provinsi Nusa Tenggara Barat, Nama Selaparang yang juga
berasal dari nama suku dan pulau ini diabadikan menjadi nama lapangan terbang
dan nama jalan protokol.
Asal
Usul Suku Sasak
Nenek moyang Suku Sasak berasal dari campuran
penduduk asli Lombok dengan para pendatang dari Jawa Tengah yang terkenal
dengan julukan Mataram, pada jaman Raja yang bernama Rakai Pikatan dan
permaisurinya Pramudhawardani. Kata sasak itu sendiri berasal dari kata sak-sak
yang artinya sampan. Karena moyang orang Lombok pada jaman dulu berjalan dari
daerah bagian barat Lomboq (lurus) sampai kearah timur terus menuju sebuah
pelabuhan di ujung timur pulau yang sekarang bernama Pelabuhan Lombok. Mereka
banyak menikah dengan penduduk asli hingga memiliki anak keturunan yang menjadi
raja sebuah kerajaan yang didirikan yang bernama Kerajaan Lombok yang berpusat
di Pelabuhan Lombok. Setelah beranak pinak, sebagai tanda kisah perjalanan dari
Jawa memakai sampan (sak-sak), mereka menamai keturunannya menjadi suku
Sak-sak, yang lama-kelamaan menjadi Sasak.
Rumah
Adat
Sebagai
penduduk asli, suku Sasak telah mempunyai sistem budaya sebagaimanatertulis
dalam kitab Nagara Kartha Garna karangan
Empu Nala dari Majapahit. Dalam kitab tersebut, suku Sasak disebut
Lomboq Mirah Sak-Sak Adhi. Jika saat kitab tersebutdikarang suku Sasak telah
mempunyai sistem budaya yang mapan, maka kemampuannya untuk tetap eksis sampai
saat ini merupakan salah satu bukti bahwa suku ini mampu menjaga dan melestarikan
tradisinya. Salah satu bentuk dari bukti kebudayaan suku Sasakadalah bentuk
bangunan rumah adatnya. Rumah adat dibangun berdasarkan nilai estetika dan
local wisdom masyarakat, seperti halnya
rumah tradisional suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Suku Sasak
mengenal beberapa jenis bangunan sebagai tempat tinggal dan juga tempat penyelanggaraan ritual adat dan
ritual keagamaan.
Atap rumah Sasak terbuat dari jerami dan
berdinding anyaman bambu (bedek). Lantainya dibuat dari tanah liat yang
dicampur dengan kotoran kerbau dan abu jerami.Seluruh bahan bangunan (seperti
kayu dan bambu) untuk membuat rumah adat tersebut di dapatkan dari lingkungan
sekitar mereka, bahkan untuk menyambung bagian-bagian kayu tersebut, mereka menggunakan paku yang terbuat
dari bambu. Rumah adat suku Sasak hanya memiliki satu pintu berukuran
sempit dan rendah dan tidak memiliki jendela. Orang Sasak juga selektif dalam
menentukan lokasi tempat pendirian rumah. Mereka meyakini bahwa lokasi yang
tidak tepat dapat berakibat kurang baik kepada yang menempatinya.
Misalnya, mereka tidak akan membangun rumah di
atas bekas perapian, bekas tempat pembuangan sampah, bekas sumur dan pada
posisi jalan tusuk sate atau susur gubug. Selain itu, orang Sasak tidak akan membangun rumah berlawanan arah dan ukurannya
berbeda dengan rumah yang lebih dahulu ada. Menurut mereka, hal tersebut
merupakan perbuatan melawan tabu (maliq-lenget).
Rumah adat suku Sasak pada bagian atapnya
berbentuk seperti gunungan, menukik ke bawah dengan jarak 1,5 sampai 2 meter
dari permukaan tanah (fondasi). Atap dan bubungannya
(bungus) terbuat dari alang-alang,
dindingnya dari anyaman bambu (bedek), hanya mempunyai satu berukuran kecil dan
tidak ada jendelanya. Ruangannya dibagi menjadi ruang induk meliputi bale
luar ruang tidur dan bale dalem berupa
tempat menyimpan harta benda, ruang ibu melahirkan sekaligus ruang
disemayamkannya jenazah sebelum dimakamkan. Ruangan bale dalem juga
dilengkapi amben, dapur dan sempare (tempat menyimpan makanan dan
peralatan rumah tanggan lainnya) tersebut dari bambu ukuran 2 x 2 meter persegi. Kemudian ada sesangkok (ruang
tamu) dan pintu masuk dengan sistem sorong (geser). Di antara bale
luar dan bale dalem ada pintu dan tangga (tiga anak tangga) dan lantainya berupa
campuran tanah kotoran kerbau/kuda, getah dan abu jerami.
Bangunan rumah dalam komplek perumahan Sasak
terdiri dari beberapa macam, diantaranya adalah Bale Tani, Bale Jajar, Berugag/Sekepat, Sekenam, Bale Bonter,
Bale Beleq Bencingah, dan Bele Taj uk.
Dan nama bangunan tersebut disesuaikan dengan fungsidari masing-masing tempat.
1. Bale Tani adalah bangunan
rumah untuk tempat tinggal masyarakat Sasak yang berprofesi sebagai petani.
2. Bale Jajar Merupakan bangunan
rumah tinggal orang Sasak golongan ekonomi menengah keatas. Bentuk Bale Jajar hampir sama dengan Bale Tani, yang membedakan
adalah jumlah dalem balenya.
3. Berugaq / Sekepat Berfungsi sebagai
tempat menerima tamu, karena menurut kebiasaan orang Sasak, tidak semua orang
boleh masuk rumah. Berugaq / sekupat juga digunakan pemilik rumah yang memiliki
gadis untuk menerima pemuda yang datang midang
(melamar).
4. Sekenam Digunakan sebagai tempat
kegiatan belajar mengajar tata krama, penanaman nilai-nilai budaya dan sebagai
tempat pertemuan internal keluarga.
5. Bale
bonter Dipergunakan
sebagai ternopat pesangkepan / persidangan adat, seperti:
tempat penyelesaian masalah pelanggaran hukum adat dan
sebagainya. Umumnya
Asal Mula
Nama Lombok Lombok adalah nama yang berarti cabe dalam bahasa Jawa dan juga
merupakan salah satu pulau yang ada di Kepulauan Nusa Tenggara Barat. Di
kepulauan Lombok ini terdapat suku bangsa yang bernama Sasak. Dari bahasa
dearah suku sasak di daerah sana Lombok di baca “ Lombo “ artinya lurus dan
suku bangsa sasak berarti perahu bercadik. Ikutilah cerita berikut ini tentang
Asal Usul Pulau Lombok dan suku Sasak di daerah sana. Dahulu kala, Kerajaan
Mataram di Jawa Tengah dipimpin oleh seorang raja wanita yang ahli dalam
pemerintahan dan bernama Pramudawardhani. Suaminya Rakai Pikatan dia ahli dalam
ahli peperangan. Wilayah kekuasaannya terbentang luas di daratan Jawa dan
sekitarnya. Ketika itulah banyak rakyat Mataram pergi berlayar ke arah timur
melalui Laut Jawa menggunakan perahu bercadik. Konon mereka berlayar ke arah
timur untuk menghindari pekerjaan berat yang sedang berlangsung. Karena pada
zaman itu Candi – candi seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Candi
Kalasan sedang dibangun. Demikianlah mereka berlayar terus ke arah timur hingga
menemukan sebuah daratan dan mereka berlabuh di daratan tersebut, daratan
tempat mereka berlabuh tersebut diberi nama Lomboq (lurus), untuk mengenang
perjalanan panjang. Setelah beberapa waktu berlanjut, Lomboq menjadi nama dearah
di sana dan lama kelamaan daerah sana berubah namanya menjadi Lombok. Dan
Karena orang yang pertama kali menemukan pulau tersebut dengan berlayar ke
timur menggunakan perahu cadik, maka suku dearah sana di beri nama Orang Sasak
yang berarti bercadik. Karena telah lama tinggal disana, mereka mulai terbiasa
dengan penduduk asli yang tinggal disana. Waktu berlalu cukup lama dan kemudian
mereka mendirikan kerajaan Lombok termpat kerajaan itu sekarang disebut labuhan
Lombok. Kerajaan Lombok menjadi besar banyak pedangan yang berdatangan disana
para pedagang dari Tuban, Gresik, Makasar, Banjarmasin, Ternate, Tidore, bahkan
Malaka. Hingga akhirnya Kerajaan Lombok diserang oleh kerajaan Majapahit dan
akhirnya kalah. Tetapi Raja dan permaisurinya dapat melarikan diri dan
mendirikan kerajaan baru Yang diberi nama Watuparang di sebuah Gunung. Pulau
Lombok yang memiliki luas 473.780 hektare ini tak hanya menyimpan kekayaan
wisata alam semata. Bicara Pulau Lombok maka pikiran menerawang ke hamparan
pantai Senggigi yang eksotis, indah, dan menawan. Pantai berpasir putih dengan
deburan ombak kecilnya ini sayang untuk dilewatkan. Tak heran bila banyak
wisatawan mancanegara maupun wisatawan Nusantara menyinggahinya. Akhirnya
dengan berlalunya waktu nama lomboq berubah menjadi lombok dan suku sak – sak
di sana berubah namanya menjadi Sasak. di Mataram, ibu kota provinsi Nusa
Tenggara Barat, Nama Selaparang yang juga berasal dari nama suku dan pulau ini
diabadikan menjadi nama lapangan terbang dan nama jalan protokol.
Tau
Samawa
Tau samawa asal
kata dari Tau yang berarti orang, dan Samawa adalah nama lain dari Sumbawa.
jadi Tau samawa adalah orang yang menempati atau masyarakat yang menempati
pulau sumbawa,tau samawa juga adalah sebuah suku yang mendiami pulau sumbawa.
Samawa adalah sebutan yang biasa digunakan oleh penduduk lokal untuk Sumbawa.
Berubahnya kata samawa menjadi Sumbawa lebih dipengaruhi oleh penjajahan
belanda pada masa lampau tepatnya pada jaman kolonial Belanda. Penjajah belanda
meyebut Samawa dengan kata Zhambava dan seiring waktu dan juga penyebutan
dengan lidah indonesia Zhambava menjadi sumbawa, sama halnya dengan
daerah-daerah lain di Indonesia seperti Jawa menjadi Java.
Banyak versi yang menyebutkan asal mula suku sumbawa (tau samawa) salah santunya ada yang menyebutkan bahwa tau samawa (suku Sumbawa) berasal dari Gowa,makassar yang dibuang oleh kerajaan Gowa. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kesamaan tradisi, budaya dan adat istiadat. Senjata tradisional, pakaian adat dan lain-lain. Bahkan karakter yang keras jugas masih bisa ditemui.
Masakan khas
Sumbawa memiliki
banyak makanan khas namun orang yang bersala dari pulau sumbawa hanyak mengenal
kuda, madu dan susu kuda liar. Memang saat orang mendengar kata Sumbawa mereka
langsung identik dengan tigal hal tersebut dan perlu saya tambahkan satu lagi
adalah PANASSSSS..... Masakan khas sumbawa diantaranya sepat, singang, siong
sira, manjareal (kue) dan masih banyak lagi sulit untuk saya sebutkan apalagi
menjelaskan satu-satu atau bagaimana cara membuatnya tentu saya bukan ahlinya.
Tapi jika memang
anda penasaran ada baiknya anda datang sendiri dan belajar cara membuatnya,
bagaimana?
Oh ya saya hampir lupa ada satu lagi khas sumbawa yaitu minyak sumbawa. Minyak yang bisa digunakan untuk mengobati, memijat baik itu untuk di oles ataupun di minum dan memang terkenal ampuh untuk mengobati segala penyakit.
Mungkin artikel ini belumlah terlalu lengkap untuk menjelaskan semua keunikan dan pariwisata di pulau Sumbawa tapi semoga bisa menjadi bahan untuk sedikit mengetahui tanah Sumbawa. Kalau ada yang kurang tolong ditambah/comment nanti saya akan tambahkan lagi biar tulisannya jadi panjangSumbawa,
Sejarah yang
hilang
Berbicara tentang
sejarah sebuah daerah,mungkin cara yang paling cepat adalah menelusuri
peninggalan budaya yang masih tersisa dari daerah tersebut.Begitu pula jika
kita ingin membuka catatan sejarah Kabupaten Sumbawa, kita masih bisa menemukan
sejumlah atibut yang masih tersisa misalnya istana tua ( dalam Loka ) bekas
istana raja sumbawa,walau sekarang tinggal rangka-rangka kayu yang tidak jelas
nasib nya. Atau sejumlah areal dan bangunan lain yang masih kokoh, kendati pula
telah berubah fungsi.Kita mulai saja dari areal dan bangunan Istana Tua yang
terletak dikelurahan Seketeng Kecamatan Sumbawa.
Sebelum Dalam
Loka dibangun di atas lokasi yang sama pernah dibangun pula beberapa istana
kerajaan pendahulu. Diantaranya Istana Bala Balong, Istana Bala Sawo dan Istana
Gunung Setia. Istana-istana ini telah lapuk dimakan usia bahkan diantaranya ada
yang terbakar habis di makan api. Sebagai gantinya, dibangunlahsebuah istana
kerajaan yang cukup besar ukurannya beratap kembar serta dilengkapi dengan
berbagai atribut. Istana yang dibangun terakhir ini bernama Dalam
Loka.Peninggalan Kesultanan Sumbawa ini didirikan pada tahun 1885 oleh Sultan
Muhamad Jalaluddin III (1883-1931).
Sebelum Dalam Loka dibangun di atas lokasi yang sama pernah dibangun pula beberapa istana kerajaan pendahulu. Diantaranya Istana Bala Balong, Istana Bala Sawo dan Istana Gunung Setia. Istana-istana ini telah lapuk dimakan usia bahkan diantaranya ada yang terbakar habis di makan api. Sebagai gantinya, dibangunlahsebuah istana kerajaan yang cukup besar ukurannya beratap kembar serta dilengkapi dengan berbagai atribut. Istana yang dibangun terakhir ini bernama Dalam Loka.
Sekarang Dalam
Loka yang kebanggaan Tau Samawa ( masyarakat Sumbawa ) hampir hilang ditelan
kelalaian dan ketidak pedulian dari Pemerintah.Sejak tiga tahun yang lalu
renovasi Istana Tua ini berjalan mandeg dan tidak ada tanda-tanda
penyelesaiannya. Ditambah lagi komplek istana tua yang semestinya steril dari
bangunan apapun, kini dikotori oleh bangunan rumah keluarga sultan yang ikut-ikutan
mengklaimnya sebagai milik pribadi.
Kemudian areal
bersejarah lainnya, yakni " Lenang Lunyuk " atau lapangan besar yang
berada dibagian atau samping barat Istana Tua, sekarang sudah hilang menjadi
bagian atau komplek Mesjid Nurul Huda Sumbawa Besar bahkan termasuk mesjid
tersebut yang dulunya bernama " Masjid Makam "adalah peninggalan
sejarah masa lalu yang semestinya tidak dilakukan perombakan total karena baik
Istana Tua, Lenang Lunyuk dan Masjid Makam itu adalah bagian dari sebuah
sejarah yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Tidak jauh dari
Istana Tua, Lenang Lunyuk maupun Masjid Makam, sekitar 500 meter kearah utara
pada tahun 1934 dibangun sebuah istana modern oleh Belanda.Hingga kini istana
yang lebih populer disebut Wisma Praja atau Pendopo Kabupaten itu masih berdiri
kokoh. Wisma Praja ini sempat menjadi kantor terakhir Sultan Sumbawa Kaharuddin
III sebelum pindah ke Bala Kuning yang khusus dibangun oleh keluarga Sultan.
Bala Kuning ini adalah sebuah rumah besar ber-cat kuning dididiami sultan Sumbawa
hingga beliau wafat.
Di Komplek Wisma
Praja sendiri,sekarang sudah berdiri bangunan rumah dinas Bupati ( dibag.Barat
) kemudian bagian Timur dibangun lapangan tenis untuk para pejabat. Di Bagian
timur ini dahulunya ada sebuah sumur keramat yang bisa saja dilestarikan
sebagai peninggalan sejarah. Namun sumur yang dikenal dengan nama Sumir Batir
dengan kedalaman 19 meter itu sudah ditutup. Sebelumnya bagian selatan komplek
wisma praja ini juga sudah dipangkas. Dahulu tempat ini berdiri rumah-rumah dinas
kediaman para pegawai kerajaan. Sekarang sudah hilang dan areal ini sudah
berganti wajah,menjadi bangunan Sekolah Dasar, Kantor Kelurahan Brang Bara dan
TK Pertiwi Sumbawa Besar.
Masih dikomplek
Wisma Derah ; dibagian depannya ada sebuah bangunan bertingkat tiga yang juga
sangat unik. Bangunan ini dikenal dengan " Bale Jam " atau rumah
lonceng, karena dilantai 3 bagunan ini tergantung lonceng berukuran besar yang
khusus didatangkan dari Belanda. Genta ini setiap waktu dibunyikan oleh seorang
petugas, sehingga semua warga mengetahui waktu saat itu. Sekarang tidak lagi
terdengar suara lonceng,padahal pasangan Bupati dan Wk.Bupati Sumbawa ketika
berkampanye dulu menjadi salah satu janjinya, akan memfungsikan kembali rumah
lonceng itu. Yaaa...janjiku adalah bualan ku...ha-ha-ha.
Jika kita
melintas didepan Bale Jam atau wisma daerah, kita mungkin tidak sadar berada
diatas sebuah jalan yang khusus diberi nama Jalan Pahlawan dan jika kita
menghadap ke utara akan terlihat sebuah lapangan yang namanya juga Lapangan Pahlawan.
Kecuali Jalan Pahlawan, Lapangan Pahlawan yang memiliki alur sejarah tersendiri
walau tidak terlepas dari sejarah wisma daerah itu, kini sudah berubah fungsi
menjadi taman kota. Membuat taman kota ini,sama saja dengan aksi menghilangkan
nilai sejarah.
Berbatasan dengan
lapangan pahlawan ada sebuah parit yang sangat terkenal. Parit ini bernama
" Kokar Dano ". Kokar berarti parit yang hanya pada musim penghujan
mengalirkan air. Dano adalah nama seseorang yang menjadi penunggu atau pengawas
dari parit tersebut. Bukan itu yang ingin saya ceritakan. Parit ini tidak
terbentuk secara alami, namun khusus dibuat pada saat pembangunan baru Istana
Tua pada tahun 1885. Kokar Dano ini berawal dari Kantor Camat Sumbawa sekarang
bersambung dengan aliran parit dari sawah yang berada dibagian timurnya. Kokar
dano ini hanya sepanjang 1 Km dan berujung di sungai brang bara ( belakang
komplek perokoan Jl.Kartini sekarang ).
Parit atau kokar
dano ini dibuat sebagai pembatas wilayah istana kerajaan yang tidak boleh
ditembus oleh sembarang orang.Bahkan orang Belanda pun tidak boleh sembarang
masuk areal ini. Di Kokar Dano ini dibangun sebuah jembatan kayu ( letaknya
berseberangan dengan kediaman alm.H.Khaeruddin Nurdin sekarang ). Lewat
jembatan kecil ini lah setiap tamu kerajaan dipersilah memasuki areal istana
kerajaan.Tamu-tamu yang dimaksud adalah tamu yang akan menghadap Raja. Mereka
biasa datang dari jauh, dari seberang lautan.
Para tamu
kerajaan yang datang dari seberang lautan, menambatkan kapalnya persis di
pelabuhan Jembatan Pelimpat sekarang ( jembatan menuju bandar udara brang biji
) Dari sini para tamu itu dipersilahkan untuk berteduh atau berkemah di sebuah
tempat yang sekarang dikenal dengan Karang atau Desa Bugis, tepatnya di bagian
Barat jl.Mawar Sumbawa Besar. Tempat ini juga disebut sebagai karang Makam,
karena disinilah dikuburkan para tamu yang datang dari jauh. Disebut Karang
Bugis, karena orang yang pertama datang menemui sultan sumbawa kala itu datang
dari bugis Sulawesi.
Setiap tamu yang
datang menghadap raja, harus menambatkan kudanya di seberang kokar dano. Tempat
tambatan kuda, tamu raja sumbawa itu, kemudian menjadi bioskop seorang tokoh
tionghoa dan sekarang bediri sebuah pusat perbelanjaan.
Inilah sekelumit
sejarah yang tidak pernah terpikirkan bagaimana melestarikan. Ingat bahwa
dahulu, Sumbawa ini bukanlah tanah tak bertuan.
Sejarah Daerah
Bima Ini yang akan kita bahas lain kali. Suatu daerah pasti mempunyai asal usul
tersendiri, budaya, dan sejarah masing-masing. begitu juga pun dengan Daerah
Bima yang dulu pernah merupakan sebuah kerajaan yang swapraja selama lima atau
enam abad sebelum lahirnya Republik Indonesia. Sejarah kerajaan Bima hanya
diketahui secara dangkal, disebabkan terutama karena pemerintah Belanda boleh
dikatakan tidak menaruh minat terhadap Bima, asal keamanan dan ketertiban tidak
terganggu. Namun dari Dua sumber lain dapat ikut menjelaskan perkembangan sejarah
Bima.
Pertama, ilmu
arkeologi yang selama ini hanya mengungkapkan segelintir peninggalan yang
terpisah-pisah. Namun ilmu arkeologi itulah yang barangkali akan berhasil
menentukan patokan-patokan kronologi terpenting dari masa prasejarah sampai
masa Islam. Kedua, sejumlah dokumen dalam bahasa Melayu yang ditulis di Bima
antara abad ke-17 sampai dengan abad 20. Bahasa Bima merupakan bahasa setempat
yang dipakai sehari-hari di Kabupaten Bima dan Dompu (nggahi Mbojo). Bahasa
tersebut jarang, dan sejak masa yang relatif muda, digunakan secara tertulis.
Beberapa teks lama yang masih tersimpan dalam bahasa tersebut, tertulis dalam
bahasa Arab atau Latin. Tiga jenis aksara asli Bima pernah dikemukakan oleh
pengamat-pengamat asing pada abad ke-19, tetapi kita tidak mempunyai contoh
satu pun yang membuktikan bahwa aksara tersebut pernah dipakai. Oleh karena itu
bahasa Bima rupanya tidak pernah menjadi bahasa tertulis yang umum di daerah
tersebut. Pada jaman dahulu, bahasa lain pernah digunakan.
Dua prasasti telah ditemukan di sebelah barat Teluk Bima, satu agaknya dalam bahasa Sanskerta, yang lain dalam bahasa Jawa kuno. Selanjutnya bahasa Makassar dan bahasa Arab kadang-kadang dipakai juga. Ternyata sejak abad ke-17 kebanyakan dokumen tersebut resmi ditulis di Bima dalam Bahasa Melayu.
Tulisan di atas dikutip dari buku Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, karya Henry Chambert-Loir penerbit Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2004.
Bima di bagi dalam 4 jaman, yaitu jaman Naka (Prasejarah), jaman Ncuhi (Proto Sejarah), jaman Kerajaan (Masa Klasik), dan jaman kesultanan (Masa Islam).
1. Jaman Naka (Prasejarah)
Kebudayaan
masyarakat Bima pada jaman Naka masih sangat sederhana. Masyarakat belum
mengenal sistem ilmu pengetahuan dan teknologi, pertanian, peternakan,
pertukangan atau perindustrian serta perniagaan dan pelayaran. Untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari, mereka mencari dan mengumpulkan kekayaan alam yang ada
disekitarnya seperti umbia-umbian, biji-bijian dan buah-buahan. Selain mencari
dan mengumpulkan makanan untuk kebutuhan sehari-hari, mereka juga sudah gemar
berburu. Dalam istilah ilmu arkeologi, karena mereka mengumpulkan makanan dari
hasil kekayaan alam disebut masyarakat pengumpul (Food Gathering).
Kehidupan
masyarakat pada jaman Naka (Prasejarah) selalu berpindah-pindah dari suatu
tempat ke tempat lain. Masyarakat pada jaman Naka sudah mengenal agama atau
kepercayaan. Kepercayaan yang meraka anut pada masa itu disebut Makakamba dan
Makakimbi, yang dalam ilmu sejarah disebut kepercayaan Animisme dan Dinamisme.
Menurut kayakinan mereka pada masa itu, alam beserta isinya diciptakan oleh
Maha Kuasa, disebut Marafu atau Tuhan. Marafu tersebut merupakan tempat semayam
di mata air, pohon-pohon besar atau batu-batu besar. Dan tempat untuk
bersemayamnya Marafu tersebut Parafu Ro Pamboro.
Pada saat itu
juga mereka melakukan upacara pemujaan terhadap Makakamba Makakimbi di tempat
bersemayamnya Parafu yaitu Parafu Ro Pamboro. Upacara yang mereka lakukan
disebut “Toho Dore”. Dalam upacara tersebut dibacakan mantra atau do’a serta
persembahan dan dalam tradisi upacara “Toho Dore” diberikan berupa sesajen dan
penyembelihan hewan. Upacara tersebut dipimpin oleh seorang pemimpin yang
disebut Naka.
Naka adalah bukan
hanya sebagai seorang pemimpin agama tetapi Naka juga merupakan pemimpin dalam
kehidupan sehari-hari. Naka tersebut sangat dihormati, sehingga masyarakat pada
masa itu, selain menyembah Marafu, mereka juga sangat menghormati arwah leluhur
terutama arwah Naka. Masyarakat pada masa itu, sangat menjunjung tinggi asas
Mbolo Ro Dampa (Musyawarah) dan Karawi Kaboju (Gotong Royong). Segala sesuatu
selalu dimusyawarahkan.
2. Jaman Ncuhi (Proto Sejarah)
Demikian jaman
Naka berakhir, masyarakat Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman Ncuhi. Pada
jaman Ncuhi, sekitar abad ke 8 M, masyarakat Bima mulai berhubungan dengan para
pedagang dan musafir yang berasal dari daerah lain. Para pedagang dan musafir
itu berasal dari Jawa, Sulawesi Selatan, Sumatera dan Ternate. Pada saat itulah
masyarakat Bima sudah mengenal sistem ilmu pengetahuan dan teknologi,
pertanian, peternakan, pertukangan dan pelayaran serta perniagaan.
Sejak itulah
keadaan Dana Mbojo sudah mulai berubah dan masyarakat sudah mulai tinggal
menetap dan mendirikan rumah. Sehingga lahir adanya Kampung, Kota dan Desa.
Keadaan dou Labo Dana (Rakyat dan Negeri) mulai berkembang, seperti diibaratkan
sebagai sebatang pohon yang mulai Ncuhi atau Ncuri (yang mulai Bertunas dan
Berkuncup), karena itu, jaman awal kemajuan maka disebut jaman Ncuhi. Dan
pemimpin mereka pada saat itu disebut Ncuhi. Sehingga Ncuhi bukan hanya sebagai
pemimpin pemerintahan, tetapi Ncuhi juga sebagai pemimpin agama. Pada masa
Ncuhi, masyarakat masih menganut terhadap kepercayaan Makakamba dan Makakimbi.
Walaupun ilmu
pengetahuan dan teknologi sudah berkembang, namun Ncuhi bersama rakyat tetap
memegang teguh asas Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju. Ncuhi tetap berlaku adil
dan bijaksana. Maka, Ncuhi harus berperan sebagai “Hawo Ro Ninu” rakyat
(Pengayom dan Pelindung rakyat) dan Ncuhi juga harus memegang teguh falsafah
Maja Labo Dahu (Malu dan Takut).
Kian lama
masyarakat Bima melakukan hubungan dengan para pedagang dan musafir dari daerah
luar semakin intim. Sehingga para pedagang dan musafir dari seluruh pelosok
nusantara, terutama para pedagang dan musafir dari Jawa Timur semakin
bertambah. Para pedagang dan musafir dari Jawa Timur mendirikan perkampungan di
pesisir Barat Teluk Bima, yaitu desa Sowa Kecamatan Donggo sekarang. Sampai
sekarang bekas pemukiman mereka masih dapat disaksikan sebagai peninggalan
sejarah atau dalam istilah ilmu arkeologi yaitu disebut situs yang oleh
masyarakat diberi nama Wadu Pa’a (Batu Pahat). Salah seorang tokoh pedagang dan
musafir Jawa Timur yang terkenal pada saat itu yaitu bernama Sang Bima. Sang
Bima tersebut menjalin hubungan persahabatn dengan para Ncuhi, yaitu ncuhi
Dara.
Dengan keadaannya
masyarakat Bima sekian lama semakin maju. Kehidupan masyarakat semakin
bertambah makmur dan sejahtera dan mereka hidup rukun dan damai. Tetapi asas
Mbolo Ro Dampa dan Karawi Kaboju tetap diamalkan dan falsafah Maja Labo Dahu
tetap dijunjung tinggi.
Untuk
meningkatkan persatauan dan kesatuan, seluruh Ncuhi mengadakan Mbolo Ro Dampa
di sebuah Babuju di wilayah Ncuhi Dara. Dalam keputusan Mbolo Ro Dampa :
- Masyarakat dan seluruh Ncuhi, mengangkat Ncuhi Dara sebagai pemimpin masyarakat Bima.
- Ncuhi Parewa diangkat menjadi pemimpin di wilayah Selatan, yaitu di kecamatan Belo, Woha dan Monta sekarang.
- Ncuhi Bangga Pupa diangkat menjadi pemimpin di wilayah Utara, yaitu di kecamatan Wera sekarang.
- Ncuhi Bolo diangkat menjadi pemimpin di wilayah Barat, yaitu di kecamatan Bolo dan Donggo sekarang.
- Ncuhi Doro Woni diangkat menjadi pemimpin di wilayah Timur, yaitu di kecamatan Wawo dan Sape sekarang.
Gabungan dari
seluruh wilayah Dana Mbojo, diberi nama Babuju. Sesuai dengan nama tempat dalam
Mbolo Ro Dampa. Nama Mbojo berasal dari kata Babuju.
3.
Jaman Kerajaan (Masa Klasik)
Sebelum langsung
terjadinya ke jaman kerajaan, menurut dalam cerita legenda dalam kitab BO
(catatan kuno kerajaan Bima) bahwa Sang Bima pertama kali berlabuh di pulau
Satonda, kemudian bertemu dengan seekor naga bersisik emas. Sang naga
melahirkan seorang putri dan kemudian diberi nama putri Tasi Sari Naga. Sang
Bima menikahi putri Tasi Sari Naga dan melahirkan dua orang putra yang bernama
Indra Zamrud dan Indra Kumala. Kedua putra Sang Bima tersebut kelak menjadi
cikal bakal keturunan raja-raja Bima. Setelah Sang Bima bertemu dengan putri
Tasi Sari Naga yang merupakan seorang putri dari penguasa setempat (Ncuhi) di
pulau Satonda, sejak itu Bima mempunyai hubungan nyata dengan pulau Jawa. Sang
Bima juga diduga seorang bangsawan Jawa. Bima tercatat dalam kitab
Negarakertagama, wilayah kekuasaan Majapahit.
Sebelum
mendirikan kerajaan, semua Ncuhi membentuk kesatuan wilayah di bawah pimpinan
Ncuhi Dara. Selama puluhan tahun Sang Bima berada di Jawa Timur, Sang Bima
mengirim dua orang putranya, yaitu Indra Zamrud dan Indra Kumala. Indra Zamrud
dijadikan anak angkat oleh Ncuhi Dara sedangkan Indra Kumala dijadikan anak
angkat oleh Ncuhi Doro Woni. Kemudian semua Ncuhi melakukan Mbolo Ro Dampa
untuk menentukan sebagai pemimpin atau raja di Bima dan Dompu. Hasil
kesepakatan dari semua Ncuhi, Indra Zamrud dijadikan sebagai sangaji atau raja
di Bima sedangkan Indra Kumala dijadikan sebagai sangaji atau raja di Dompu.
Indra Zamrud di
Tuha Ro Lanti atau dinobatkan menjadi sangaji atau raja pertama di Bima.
Setelah Indra Zamrud memiliki ilmu pengetahuan dalam pemerintahan. Maka,
berakhirlah jaman Ncuhi dan masyarakat Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman
kerajaan. Dalam kepemimpinan bukanlah dipegang oleh Ncuhi, tetapi dipegang oleh
sangaji atau raja.
Sejak berdirinya
kerajaan sekitar pertengahan abad 11 M, dana Mbojo memiliki dua nama, yaitu nama
Mbojo dan Bima. Masa pertumbuhan masa kerajaan Bima, setelah dilantik menjadi
sangaji atau raja, untuk membangun kerajaan, Indra Zamrud dibantu oleh para
Ncuhi, terutama Ncuhi Dara, Ncuhi Parewa, Ncuhi Bolo, Ncuhi Bangga Pupa dan
Ncuhi Doro Woni. Nama jabatan pada masa kerajaan terebut yaitu jabatan seperti
Tureli Nggampo atau Rumabicara (Perdana Menteri), Tureli (Menteri), Rato
Jeneli, Gelerang dan Jabatan lain yang mulai populer pada masa sangaji
Manggampo Donggo. Tureli Nggampo atau Rumabicara yang terkenal, yaitu bernama
Bilmana.
4.
Zaman Kesultanan (Masa Islam)
Peristiwa-peristiwa
dalam menjelang berdirinya masa kesultanan Bima, kerajaan mengalami kekacauan.
Singkat dari cerita legenda, Salisi salah seorang putra sangaji Ma Wa’a Ndapa,
karena ingin menjadi sangaji. Ia membunuh sangaji Samara dan jena Teke Ma Mbora
Mpoi Wera. Dan Salisi juga mencoba berusaha ingin membunuh Jena Teke La Ka’i
yang merupakan putra dari sangaji Asi Sawo. Sehingga Jena Teke La Ka’I terpaksa
meninggalkan istana.
Setelah dalam
kerajaan Bima mengalami kemunduran kemudian muncul dengan kedatanganya masa
Islam. Dengan kedatangannya masa Islam dapat mempengaruhi dengan berakhirnya
masa kerajaan menjadi lahirnya masa kesultanan.
Masuk dan berkembangnya
agama Islam di Bima, melalui beberapa tahap sebagai berikut :
1.
Tahap pertama dari Demak sekitar tahun 1540 M
Pada tahun 1540
M, para mubalig dan pedagang dari Demak dibawah pimpinan Sunan Prapen yang
merupakan putra dari Sunan Giri dating ke Bima dengan tujuan untuk menyiarkan
agama Islam. Pada masa itu yang memerintah di kerajaan Bima adalah sangaji
Manggampo Donggo. Usaha yang dilakukan oleh Sunan Prapen kurang berhasil,
karena pada tahun 1540 M Demak mengalami kekacauan akibat mangkatnya Sultan
Trenggono.
2.
Tahap kedua dari ternate sekitar tahun 1580 M
Pada tahun 1580
M, sultan Bab’ullah mengirim para mubalig dan pedagang untk menyiarkan agama
Islam di Bima. Ketika masa itu kerajaan Bima, yang memerintah adalah sangaji Ma
Wa’a Ndapa. Penyiar agama Islam yang dilakukan oleh Ternate, tidak dapat
berlangsung lama, sebab di Ternate timbul kesultanan politik, setelah Sultan
Bab’ullah mangkat.
3.
Tahap ketiga dari Sulawesi Selatan sekitar tahun 1619 M
Pada tanggal 14
Jumadil awal 1028 H (tahun 1619 M), Sultan Makassar Alauddin awalul Islam
mengirim empat orang mubalig dari Luwu, Tallo dan Bone untuk menyiarkan agama
Islam di kerajaan Bima. Para muballig tersebut berlabuh di Sape dan mereka
tidak dating ke istana, karena pada saat itu istana sedang dikuasai oleh
Salisi. Kedatangan para Muballig tersebut disambut oleh La Ka’I yang sedang
berada di Kalodu. Pada tanggal 15 Rabiul awal 1030 H, La Ka’I beserta
pengikutnya memeluk agama Islam. Sejak itu mereka mengganti nama :
- La Ka’I menjadi Abdul kahir
- La Mbila putra Ruma Bicara Ama Lima Dai menjadi Jalaluddin
- Bumi Jara Mbojo di Sape menjadi Awaluddin
- Manuru Bata putra sangaji Dompu Ma Wa’a Tonggo Dese menjadi Sirajuddin.
Sejak La Ka’i
memeluk agama Islam, maka rakyat juga ikut berbondong-bondong memeluk agama
Islam.
Referensi Buku
Sejarah Mbojo Bima (M. Hilir Ismail)
Sejarah Berdiri, Runtuh dan Perkembangan
Islam di Kerajaan Bima
A. Peristiwa Penting Menjelang Berdirinya Kerajaan.
Kehadiran sang Bima pada abad 11 M, ikut membantu para
ncuhi dalam memajukan Dana Mbojo. Sejak itu, ncuhi Dara dan ncuhi-ncuhi lain
mulai mengenal bentuk pemerintahan kerajaan. Walau sang Bima sudah kembali ke
kerajaan Medang di Jawa Timur, namun tetap mengadakan hubungan dengan ncuhi Dara.
Karena istrinya berasal dari Dana Mbojo Bima.
Sebelum mendirikan kerajaan, semua ncuhi sepakat
membentuk kesatuan wilayah di bawah pimpinan ncuhi Dara. Setelah puluhan tahun
berada di Jawa Timur, sang Bima mengirim dua orang putranya, yang bernama Indra
Zamrud dan Indra Kumala ke Dana Mbojo. Indra Zamrud dijadikan anak angkat oleh
ncuhi Dara. Sedangkan Indra Kumala menjadi anak angkat ncuhi Doro Woni. Seluruh
ncuhi sepakat untuk mencalonkan Indra Zamrud menjadi Sangaji atau Raja Dana
Mbojo. Sedangkan Indra Kumala dicalonkan untuk menjadi Sangaji di Dana Dompu.
Indra Zamrud di tuha ro lanti atau dinobatkan menjadi
Sangaji atau Raja yang pertama.
Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara. Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo yang pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan lagi dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh Sangaji atau Raja.
Setelah Indra Zamrud dewasa dan memiliki ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang pemerintahan, maka pada akhir abad 11 M, ia di tuha ro lanti oleh Ncuhi Dara. Dengan persetujuan semua ncuhi, untuk menjadi Sangaji atau Raja Dana Mbojo yang pertama. Dengan demikian berakhirlah jaman ncuhi. Masyarakat Mbojo Bima memasuki jaman baru, yaitu jaman kerajaan. Pimpinan pemerintahan bukan lagi dipegang oleh ncuhi, tetapi dipegang oleh Sangaji atau Raja.
Sejak berdirinya kerajaan di sekitar pertengahan abad 11
M, Dana Mbojo memiliki dua nama. Kerajaan yang baru didirikan itu, oleh para
ncuhi bersama rakyat diberi nama Mbojo. Sesuai dengan kesepakatan mereka dalam
musyawarah di Babuju. Tetapi oleh orang-orang Jawa, kerajaan itu diberi nama
Bima. Diambil dari nama ayah Indra Zamrud yang berjasa dalam merintis pendirian
kerajaan. Sampai sekarang Dana Mbojo mempunyai dua nama, yaitu Mbojo dan Bima.
Dalam masa selanjutnya, Mbojo bukan hanya nama daerah, tetapi merupakan nama
suku yang menjadi penduduk di Kabupaten Bima dan Dompu sekarang. Sedangkan Bima
sudah menjadi nama daerah
Bukan nama suku.
Pada masa kesultanan, suku Mbojo membaur atau melakukan
pernikahan dengan suku Makasar dan Bugis. Sehingga adat istiadat serta
bahasanya, banyak persamaan dengan adat istiadat serta bahasa suku Makasar dan
Bugis. Dou Mbojo yang enggan membaur dengan suku Makasar dan Bugis, terdesak ke
daerah Donggo atau pegunungan. Oleh sebab itu, mereka disebut Dou Donggo atau
orang pegunungan. Dou Donggo mempunyai adat istiadat serta bahasa yang berbeda
dengan dou Mbojo.
Dou Donggo bermukim di
dua tempat, yaitu disekitar kaki Gunung Ro’o Salunga di wilayah Kecamatan
Donggo sekarang dan di kaki Gunung Lambitu di wilayah Kecamatan Wawo sekarang.
Yang bertempat tinggal di sekitar Gunung Ro’o Salunga, disebut Dou Donggo Ipa
(orang Donggo seberang), sedangkan yang berada di kaki Gunung Lambitu, disebut
Dou Donggo Ele (orang Donggo Timur).
B. Proses Masuk dan Berkembangnya islam di
Kerajaan Bima
Kerajaan Gowa Tallo memegang
peranan penting dalam proses konversi Bima ke Islam. Saat itu, pada abad ke 17
M, Belanda telah menguasai sebagian besar jalur perdangangan bagian barat.
Untuk mencegah jalur timur direbut Belanda, Maka Gowa mengirim expedisi untuk
menaklukkan kerajaan pada pantai timur yaitu lombok dan bima. Kerajaan-kerajaan
ini berhasil ditaklukkan dan di Islam kan oleh Gowa pada tahun 1609 M . Seiring
dengan masuknya islam maka peradaban tulis juga berkembang.
Beberapa bulan setelah memeluk agama Islam, Jena Teke
Abdul Kahir bersama pengikut didampingi oleh beberapa orang gurunya dari
Sulawesi Selatan kembali menuju Dusun Kalodu. Setelah berada di Kalodu mereka
mendirikan sebuah Masjid, selain sebagai tempat ibadah juga menjadi pusat
kegiatan dakwah. Mulai saat itu Dusun Kalodu menjadi pusat penyiaran Islam,
selain Kampo Sigi (Kampung Sigi ) di sekitar Desa NaE kecamatan Sape.
Dari puncak Kalodu, Islam semakin bersinar terang
menyelimuti kegelapan Bumi Bima. Seluruh rakyat menyambut gembira instruksi
Putera Mahkota Abdul Kahir untuk memeluk Islam. Salisi semakin berang.
Dengan bantuan Belanda ia terus mengejar dan menyerang Pasukan Abdul Kahir.
Proses pengejaran itu mulai dari Kalodu, Sape hingga mencapai puncaknya di
Wera. Di sinilah terjadi pertempuran habis-habisan hingga menewaskan Panglima
Perang Rato Waro Bewi di Doro Cumpu desa Bala kecamatan Wera. Berkat
kerja sama dan kelihaian orang-orang Wera, Abdul Kahir dan teman
seperjuangannya dapat diselamatkan ke Pulau Sangiang yang selanjutnya
dijemput perahu-perahu dari Makassar.
Di Makassar, Empat serangkai Abdul Kahir, Sirajuddin,
Awaluddin dan Jalaluddin dibina dan dilatih taktik perang. Di tanah ini pula
mereka memperdalam ajaran Islam. Hingga setelah segala persiapan dimatangkan,
Sultan Alauddin Makassar mengirim ekspedisi penyerangan terhadap Salisi. Dalam
sejarah Bima tercatat dua kali ekspedisi ini dikirim untuk menaklukkan Salisi
namun gagal. Pasukan Makassar banyak yang tewas dalam dua ekspedisi ini. Untuk
ketiga kalinya pada tahun 1640 M, ekspedisi baru berhasil. Pada tanggal 5 Juli
1640 M Putera Mahkota Abdul Kahir berhasil memasuki Istana Bima dan
dinobatkan menjadi Sultan Bima pertama yang diberi gelar Ruma ta Ma Bata Wadu
(Taunku Yang bersumpah Di Atas Batu). Sedangkan Sirajuddin terus mengejar
Salisi hingga ke Dompu. Sirajuddin selanjutnya mendirikan Kesultanan
Dompu. Jalaluddin kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri (Ruma Bicara)
pertama dan diberi gelar Manuru Suntu, dimakamkan di kampung Suntu
(Halaman SDN 3 Bima sekarang).
Tanggal 5 Juli 1640 M menjadi saksi
sejarah berdirinya sebuah kesultanan di Nusantara Timur dan Terus berkiprah
dalam percaturan sejarah Nusantara selama 322 tahun. Untuk itulah pada setiap
tanggal 5 Juli diperingati sebagai hari Jadi Bima. Seperti telah menjadi takdir
sejarah pula, bahwa kesultanan Bima diawali oleh pemimpinnya yang bernama Abdul
Kahir I dan berakhir pula dengan Abdul Kahir II (Putera Kahir). Dua tokoh
sejarah itu kini tidur dengan tenang untuk selama-lamanya di atas bukit
Dana Taraha Kota Bima. (Sumber : Kitab BO ; Peranan Kesultanan Bima
Dalam Perjalanan Sejarah Nusantara, M. Hilir Ismail ; Novel Sejarah Kembalinya
Sang Putera Mahkota, Alan Malingi )
D. Penyebab Berakhirnya Kerajaan Bima
Kesultanan Bima berakhir ketika Indonesia berhasil meraih Kemerdekaan pada
tahun 1945. Saat itu, Sultan Muhammad Salahuddin, raja
terakhir Bima, lebih memilih untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Indonesia.
Siti Maryam, salah seorang Putri Sultan, menyerahkan Bangunan Kerajaan kepada
pemerintahan dan kini di jadikan Museum. Di antara peninggalan yang masih bisa
di lihat adalah Mahkota, Pedang dan Funitur.
Nusa Tenggara Barat Merupakan Cerminan dari Keanekaragaman Suku-suku di Indonesia, karena di diami oleh beberapa suku seperti : suku sasak, suku sumbawa, suku Bima Berikut ini kami coba jelaskan asal usul suku yang ada di Nusa Tenggara Barat sebagai berikut.
1. Suku Sasak
Komunitas Suku Sasak yang mendiami Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat merupakan Suku terbesar di Propinsi yang berada di antara Bali dan Nusa Tenggara Timur ini. Menurut catatan sensus yang diadakan tahun 1989, populasi suku sasak mencapai 2,1 juta jiwa. Pada Sensus berikutnya, tepatnya tahun 2000 populasinya bertambah menjadi 2,6 juta jiwa. Tahun ini diperkirakan populasi Suku Sasak yang tinggal di Lombok sekitar 3 juta jiwa, jumlah itu belum termasuk “sasak diaspora” alias sasak rantau yang menetap di Pulau Sumbawa bagian Barat, di Kalimantan Timur (akibat proyek transmigrasi), di Malaysia (TKI) dan di beberapa Kota besar di Indonesia (yang umumnya karena faktor pekerjaan dan status sebagai Mahasiswa). Di Samping itu dalam jumlah kecil, Suku Sasak tersebar di beberapa Negara di dunia ini. Melihat hal ini Populasi Komunitas Suku Sasak bisa dikatakan cukup besar dan layak disandingkan dengan etnis lain di Indonesia.
Tapi Tahukah Semeton dari mana asal usul Suku sasak ? , ” Siapa Papuk Baloq orang sasak?”. Saya yakin seyakin yakinnya, sangat teramat sedikit dari kita yang bisa menjawab pertanyaan tersebut. Satu Minggu yang lalu, Komunitas Sasak yang tergabung dalam milis Komunitas Sasak mengadakan diskusi kecil tentang hal ini, jauh memang kalau dikatakan sebagai diskusi yang ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan, tapi paling tidak banyak diantara kita yang memiliki informasi yang berbeda beda tentang asal usul Papuk Baloq Sasak.
Dari penelusuran kecil kecilan, terungkap bahwa Suku Sasak berasal dari Vietname, bersumber dari miripnya Bahasa / Base Sasak dengan Bahasa di vietnam. Ada juga semeton sasak yang sekarang ini bekerja di sektor Pariwisata di Lombok yang sempat bertemu dengan turis dari Philipine, yang bikin semeton kita ini terkejut, ada banyak kesamaan antara bahasa sasak dengan bahasa si turis, ya Bahasa Tagalog, apakah ini artinya Papuk Baloq kita dari philipine?. Ada banyak teori yang biasa dipakai oleh para ahli untuk menelusuri asal usul suatu etnis, salah satunya adalah dari bahasa yang mereka pergunakan, fisik mereka dan sejarah para tetuanya. Mari kita coba telusuri satu persatu.
BAHASA
Bahasa Sasak, terutama aksara (bahasa tertulis) nya sangat dekat dengan aksara Jawa dan Bali, sama sama menggunakan aksara Ha Na Ca Ra Ka …dst. Tapi secara pelafalan cukup dekat dengan Bali.
Menurut ethnologue yang mengumpulkan semua bahasa di dunia, Bahasa Sasak merupakan keluarga (Languages Family) dari Austronesian Malayo-Polynesian (MP), Nuclear MP, Sunda-Sulawesi dan Bali-Sasak.
Sementara kalau kita perhatikan secara langsung, bahasa Sasak yang berkembang di Lombok ternyata sangat beragam, baik dialek (cara pengucapan) maupun kosa katanya. Ini sangat unik dan bisa menunjukkan banyaknya pengaruh dalam perkembangannya. Saat Pemerintah Kabupaten Lombok Timur ingin membuat Kamus Sasak saja, mereka kewalahan dengan beragamnya bahasa sasak yang ada di lombok timur, Walaupun secara umum bisa diklasifikasikan ke dalam: Kuto-Kute (Lombok Bagian Utara), Ngeto-Ngete (Lombok Bagian Tenggara), Meno-Mene (Lombok Bagian Tengah), Ngeno-Ngene (Lombok Bagian Tengah), Mriak-Mriku (Lombok Bagian Selatan)
Dari Aspek Bahasa, Papuk Bloq kita bisa jadi berasal dari Jawa (Malayo-Polynesian), Vitname atau Philipine ( Austronesian), atau dari Sulawesi (Sunda-Sulawesi)
SEJARAH Sebelum Abad ke 16 Lombok berada dalam kekuasan Majapahit, dengan dikirimkannya Maha Patih Gajah Mada ke Lombok. Malah ada kabar kalau beliau wafat di Pulau Lombok dan dimakamkan di Lombok Timur. Pada Akhir abad ke 16 sampai awal abad ke 17, lombok banyak dipengaruhi oleh Jawa Islam melalui dakwah yang dilakukan oleh Sunan Giri, juga dipengaruhi oleh Makassar. Hal ini yang menyebabkan perubahan Agama Suku Sasak, yang sebelumnya Hindu menjadi Islam.
Pada awal abad ke 18 Lombok ditaklukkan oleh kerajaan Gel Gel Bali. Peninggalan Bali yang sangat mudah dilihat adalah banyaknya komunitas Hindu Bali yang mendiami daerah Mataram dan Lombok Barat, Beberapa Pura besar juga gampang di temukan di kedua daerah ini. Lombok berhasil Bebas dari pengaruh Gel Gel setelah terjadinya pengusiran yang dilakukan Kerajaan Selapang (Lombok timur) dengan dibantu oleh kerajaan yang ada di Sumbawa (pengaruh Makassar). Beberapa prajurit Sumbawa kabarnya banyak yang akhirnya menetap di Lombok Timur, terbukti dengan adanya beberapa desa di Tepi Timur Laut Lombok Timur yang penduduknya mayoritas berbicara menggunakan bahasa Samawa.
Kalau kita lihat dari aspek sejarah, orang Sasak bisa jadi berasal Jawa, Bali, Makassar dan Sumbawa. Tapi bisa juga ke empat etnis tersebut bukan Papuk Bloq orang sasak, melainkan hanya memberi pengaruh besar pada perkembangan Suku Sasak
Ciri FISIK Sementara kalau diperhatikan secara fisik Suku Sasak ini lebih mirip orang Bali dibandingkan orang Sumbawa. Dari Aspek ini bisa jadi orang Sasak berasal dari orang Bali, nah sekarang tinggal di cari orang Bali berasal dari mana?
Bukti Otentik
Beberapa minggu yang lalu, salah seorang yang membaca tulisan ini mengirimkan ke saya sebuah bukti otentik asal usul suku sasak yang disimpan keluarganya di Lombok Tengah. Bukti tersebut berupa silsilah keluarga yang berujung pada sebuah nama: Datu Pangeran Djajing Sorga (dari Majapahit, Kabangan, Jawa Timur). Dari Bukti otentik tersebut, jelaslah terlihat bahwa Suku Sasak yang mendiami Pulau Lombok, sebenarnya berasal dari Jawa.
Pulau Lombok merupakan kampung halaman Suku Sasak, terletak di sebelah timur Pulau Bali, dipisahkan oleh Selat Lombok. Di sebelah barat Pulau ini berbatasan dengan Selat Atas yang memisahkan pulau ini dengan Pulau Sumbawa. Luas wilayah pulau yang termasuk ke dalam Provinsi Nusa Tenggara Barat ini kurang lebih 5435 km2. Pulau Lombok secara administratif terdiri dari lima Kabupaten dan Kota yakni Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Utara, Kabupaten Lombok Timur, Kabupaten Lombok Tengah, dan Kota Mataram. Kurang lebih ada sekitar 3 juta jiwa yang mendiami pulau lombok, 80% di antaranya adalah Suku Sasak.
.
Suku Sasak telah menghuni Pulau Lombok selama berabad-abad, Mereka telah menghuni wilayahnya sejak 4.000 Sebelum Masehi. Ada pendapat yang mengatakan bahwa orang Sasak berasal dari percampuran antara penduduk asli Lombok dengan para pendatang dari Jawa. Ada juga yang menyatakan leluhur orang sasak adalah orang Jawa.
Menurut Goris S., “Sasak” secara etimologi, berasal dari kata “sah” yang berarti “pergi” dan “shaka” yang berarti “leluhur”. Dengan begitu Goris menyimpulkan bahwasasak memiliki arti “pergi ke tanah leluhur”. Dari pengertian inilah diduga bahwa leluhur orang Sasak itu adalah orang Jawa. Bukti lainnya merujuk kepada aksara Sasak yang digunakan oleh orang Sasak disebut sebagai “Jejawan”, merupakan aksara yang berasal dari tanah Jawa, pada perkembangannya, aksara ini diresepsi dengan baik oleh para pujangga yang telah melahirkan tradisi kesusasteraan Sasak.
.
Etimologi: (Linguistik); cabang dari ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul serta perubahan kata dalam bentuk dan makna.Pendapat lain menyoal etimologi Sasak beranggapan bahwa kata itu berasal dari kata sak-sak yang dalam bahasa sasak berarti sampan. Pengertian ini dihubungkan dengan kedatangan nenek moyang orang Sasak dengan menggunakan sampan dari arah barat. Sumber lain yang sering dihubungkan dengan etimologi Sasak adalah kitab Nagarakertagama yang memuat catatan kekuasaan Majapahit abad ke-14, ditulis oleh Mpu Prapanca.
Dalam kitab Nagarakertagama terdapat ungkapan “lombok sasak mirah adi” yang kurang lebih dapat diartikan sebagai “kejujuran adalah permata yang utama”. Pemaknaan ini merujuk kepada kata sasak (sa-sak) yang diartikan sebagai satu atau utama; Lombok (Lomboq) dari bahasa kawi yang dapat diartikan sebagai jujur atau lurus; mirah diartikan sebagai permata dan adi bermakna baik.
Sejarah, Pengaruh, dan Kekuasaan
.
“Para Bangsawan Lombok abad 19”. Foto dari Tropenmuseum
Sejarah Lombok sepertinya tidak dapat dipisahkan dari silih bergantinya kekuasaan dan peperangan pada masa itu. Baik itu peperangan antar kerajaan di Lombok sendiri, maupun peperangan yang ditimbulkan oleh perluasan kekuasaan dari wilayah lain.
Konon, pada masa pemerintahan Raja Rakai Pikatan di Medang (Mataram Kuno), telah banyak pendatang dari Pulau Jawa ke Pulau Lombok. Banyak diantara mereka kemudian melakukan pernikahan dengan warga setempat sehingga keturunan-keturunan selanjutnya dikenal sebagai suku sasak. Selanjutnya, dalam catatan sejarah abad ke-14-15 Masehi, Pulau Lombok ini kemudian berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Majapahit. Bahkan kabarnya Maha Patih Gajah Mada sendiri yang waktu itu datang ke Pulau Lombok untuk menundukan beberapa kerajaan yang ada di Pulau itu.
.
Melemahnya pengaruh Majapahit membuka jalan bagi perkembangan Islam ke daerah Lombok. Islam mungkin sudah sampai di Pulau lombok jauh sebelumnya, tapi penyebaran yang signifikan muncul karena bantuan para wali beserta kekuasaan Islam di tanah Jawa dan wilayah Makassar. Selama kurun waktu abad ke-16-17 Islam bahkan telah berhasil menguasai Kerajaan Selaparang, salah satu kerajaan yang cukup kuat di Pulau Lombok. Islam kemudian menyebar di Lombok, meski masih tetap tercampur dengan kebudayaan lokal.
.
Kerajaan Bali yang selalu berusaha menjadikan wilayah Lombok menjadi kekuasaannya, berhasil menduduki Lombok Barat sekitar akhir abad ke-I7 Masehi, kemudian melebarkan kekuasaannya terhadap hampir seluruh wilayah Lombok setelah berhasil menaklukan Selaprang dan memukul mundur pengaruh Makassar.
Belanda yang saat itu telah menguasai Sumbawa dibukakan jalan oleh bangsawan Sasak untuk berkuasa di Lombok. Konon Kabarnya para bangsawan sasak meminta campur tangan dari militer Belanda agar memerangi dinasti Bali di Lombok. Ketika akhirnya Belanda berhasil mengambil penguasaan Lombok dari Kerajaan Bali, alih-alih mengembalikan Lombok kepada para bangsawan Sasak, mereka justru menjadi penjajah baru di wilayah itu. Menurut Kraan (1976) menyebutkan bahwa Belanda telah berhasil mengambil wilayah yang sebelumnya berada di bawah Kerajaan Bali, dan memberlakukan pajak yang sangat tinggi pada penduduknya.
.
Antara Jawa-Bali-Lombok memang mempunyai beberapa kesamaan budaya, selain karena faktor perluasan kekuasaan kerajaan-kerajaan yang silih berganti, kedekatan wilayah yang memungkinkan penduduknya dengan mudah berpindah dan terjadi akulturasi budayanya.
.
Bahasa
Etnologi: Cabang dari antropologi, yang mempelajari berbagai suku bangsa beserta aspek kebudayaannya, dan hubungan antara satu bangsa dengan bangsa lainnya. Etnis: Suku bangsa. Etnolog: Adalah orang yang ahli etnologi.Bahasa Sasak, terutama yang berkenaan dengan sistem aksaranya, memiliki kedekatan dengan sistem aksara Jawa-Bali, sama-sama menggunakan aksara Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Kendati demikian, secara pelafalan, bahasa Sasak ternyata lebih memiliki kedekatan dengan bahasa Bali. Menurut penelitian para etnolog yang mengumpulkan hampir semua bahasa di dunia, menggolongkan bahasa Sasak kedalam rumbun bahasa Austronesia Malayu-Polinesian, Juga ada kesamaan ciri dengan rumpun bahasa Sunda-Sulawesi, dan Bali-Sasak.
.
Bahasa Sasak yang digunakan di Lombok secara dialek dan lingkup kosakatanya dapat digolongkan kedalam beberapa bahasa sesuai dengan wilayah penuturnya; Mriak-Mriku (Lombok Selatan), Meno-Mene dan Ngeno-Ngene (Lombok Tengah), Ngeto-Ngete (Lombok Tenggara), dan Kuto-Kute (Lombok Utara).
.
Struktur dan Sistem Masyarakat
Suku Sasak pada masa lalu secara sosial-politik, digolongkan dalam dua tingkatan sosial utama, yaitu golongan bangsawan yang disebut perwangsa dan bangsa Ama atau jajar karang sebagai golongan masyarakat kebanyakan.
Golongan perwangsa ini terbagi lagi atas dua tingkatan, yaitu bangsawan tingi (perwangsa) sebagai penguasa dan bangsawan rendahan (triwangsa). Bangsawan penguasa (perwangsa) umumnya menggunakan gelar datu. Selain itu mereka juga disebut Raden untuk kaum laki-laki dan Denda untuk perempuan. Seorang Raden jika menjadi penguasa maka berhak memakai gelar datu. Perubahan gelar dan pengangkatan seorang bangsawan penguasa itu umumnya dilakukan melalui serangkaian upacara kerajaan.
.
Bangsawan rendahan (triwangsa) biasanya menggunakan gelar lalu untuk para lelakinya dan baiq untuk kaum perempuan. Tingkatan terakhir disebut jajar karang atau masyarakat biasa.Panggilan untuk kaum laki-laki di masyarakat umum ini adalah loq dan untuk perempuan adalah le.
Golongan bangsawan baik perwangsa dan triwangsa disebut sebagai permenak. Para permenak ini biasanya menguasai sejumlah sumber daya dan juga tanah. Ketika Kerajaan Bali dinasti Karangasem berkuasa di Pulau Lombok, mereka yang disebut permenak kehilangan haknya dan hanya menduduki jabatan pembekel (pejabat pembantu kerajaan).
.
Masyarakat Sasak sangat menghormati golongan permenak baik berdasarkan ikatan tradisi dan atau berdasarkan ikatan kerajaan. Di sejumlah desa, seperti wilayah Praya dan Sakra, terdapat hak tanahperdikan (wilayah pemberian kerajaan yang bebas dari kewajiban pajak). Setiap penduduk mempunyai kewajiban apati getih, yaitu kewajiban untuk membela wilayahnya dan ikut serta dalam peperangan. Kepada mereka yang berjasa, Kerajaan akan memberikan beberapa imbalan, salah satunya adalah dijadikan wilayah perdikan.
.
Landasan sistem sosial masyarakat dalam kehidupan suku Sasak umumnya mengikuti garis keturunan dari pihak laki-laki (patrilineal). Akan tetapi, dalam beberapa kasus hubungan masyarakatnnya terkesan bilateral atau parental (garis keturunan diperhitungkan dari kedua belah pihak; ayah dan ibu).
Pola kekerabatan yang dalam tradisi suku sasak disebut Wiring Kadang ini mengatur hak dan kewajiban anggota masyarakatnya. Unsur-unsur kekerabatan ini meliputi Kakek, Ayah, Paman (saudara laki-laki ayah), Sepupu (anak lelaki saudara lelaki ayah), dan anak-anak mereka.
.
Wiring Kadang juga mengatur tanggung jawab mereka terhadap masalah-masalah keluarga; pernikahan, masalah warisan dan hak-kewajiban mereka. Harta warisan disebut pustaka dapat berbentuk tanah, rumah, dan juga benda-benda lainnya yang merupakan peninggalan leluhur. Orang-orang Bali memiliki pola kekerabatan yang hampir sama disebut purusa dengan harta waris yang disebut pusaka.
.
Kepercayaan
Boda adalah nama dari kepercayaan asli Suku Sasak, beberapa menyebutnya Sasak Boda. Walapun ada kesamaan pelafalan dengan Buddha, Boda tidak memiliki kesamaan dan hubungan dengan Buddhisme. Orang Sasak yang menganut kepercayaan Boda tidak mengenal dan mengakui Sidharta Gautama (Sang Buddha) sebagai figur utama. Agama Boda orang Sasak ini justru ditandai dengan penyembahan roh-roh leluhur mereka sendiri dan juga percaya terhadap berbagai.
.
Kerajaan Majapahit masuk ke Lombok dan membawa serta budayanya. Hindu-Buddha Majapahit pun kemudian dikenal oleh Suku Sasak. Di akhir abad ke 16 hingga abad ke 17 awal perkembangan agama Islam menyentuh pulau Lombok. Salah satunya karena peran Sunan Giri. Setelah perkembangan Islam, kepercayaan Suku Sasak sebagian berubah dari Hindu menjadi penganut Islam.
.
Berdasarkan sistem kepercayaan Suku Sasak pada masa-masa selanjutnya, kemudian dapat diklasifikasikan tiga kelompok utama; Boda, Wetu Telu, dan Islam (Wetu Lima).
Penganut Boda sebagai komunitas kecil yang berdiam di wilayah pegunungan utara dan di lembah-lembah pegunungan Lombok bagian selatan. Kelompok Boda ini konon adalah orang-orang Sasak yang dari segi kesukuan, budaya, dan bahasa menganut kepercayaan asli. Mereka menyingkir ke daerah pegunungan melepaskan diri dari islamisasi di Lombok.
.
Sedangkan Agama Wetu telu awalnya memiliki ciri sama dengan Hindu-Bali dan Kejawen. Di antara unsur-unsur umum, peran leluhur begitu menonjol. Hal itu didasarkan pada pandangan yang berakar pada kepercayaan tentang kehidupan senantiasa mengalir.
.
“Masjid Suku Sasak” Gambar oleh Wacana Nusantara
Pada perkembangannya Wetu telu justru lebih dekat dengan Islam. Konon, sekarang hampir semua desa suku Sasak sudah menganut Agama Islam lima waktu dan meninggalkan Wetu telu sepenuhnya. Sementara sinkretisme Islam-Wetu telu kini berkembang terbatas di beberapa bagian utara dan selatan Pulau Lombok. Meliputi Bayan, dataran tinggi Sembalun, Suranadi di Lombok Timur, Pujut di Lombok Tengah, dan Tanjung di Lombok Barat.
.
Istilah Islam-Wetu Telu diberikan karena penganut kepercayaan ini beribadah tiga kali di bulan puasa, yaitu waktu Magrib, Isya, dan waktu Subuh. Di luar bulan puasa, mereka hanya satu hari dalam seminggu melakukan ibadah, yaitu pada hari Kamis dan atau Jumat, meliputi waktu Asar. Untuk urusan ibadah lainnya biasanya dilakukan oleh pemimpin agama mereka; para kiai dan penghulu.
Para penganut Islam-Wetu telu membangun Masjid (tempat ibadah) mereka dengan gaya arsitektur khas Suku Sasak; dari kayu dan bambu, dengan bagian atapnya terbuat dari jenis alang-alang atau sirap dari bambu.
Dengan denah berbentuk persegi empat dan bagian atap seperti piramid bertumpang yang disangga dengan tiang-tiang, beberapa ahli menilai arsitektur masjid ini mirip dengan Arsitektur masjid lama di Ternate dan Tidore.
.
Tata Ruang dan Arsitektur Suku Sasak
Rumah-rumah suku Sasak berbeda dengan arsitektur Bali pada umumnya. Di dataran, perkampungan suku Sasak cenderung luas dan melintang. Desa-desa Suku Sasak di wilayah pegunungan tertata rapi mengikuti perencanaan yang pasti. Di Lombok bagian utara, biasanya perkampungan Suku Sasak terdapat dua baris rumah tipe bale, dengan sederet lumbung padinya di satu sisi yang lain. Bangunan lain yang menjadi ciri khas perkampungan orang Sasak adalah rumah besar (bale bele).
.
Di antara deretan rumah-rumah itu dibangun balai yang bersisi terbuka (beruga) sebagai tempat pertemuan. Balai terbuka menyediakan panggung untuk kegiatan sehari-hari dalam fungsi hubungan sosial masyarakat. Balai ini juga digunakan untuk urusan keagamaan misalnya upacara penghormatan jenazah sebelum dikuburkan. Sementara makam leluhur yang terdiri dari rumah-rumah kayu dan bambu kecil dibangun di wilayah bagian atas dari perkampungan.
.
“Lumbung Padi Suku Sasak”. Gambar oleh Wacana Nusantara
Sedikitnya ada empat jenis dasar lumbung dengan ukuran yang berbeda-beda. Semua lumbung, kecuali jenis lumbung padi yang berukuran kecil, memiliki panggung di bawah.
Di desa-desa Lombok bagian selatan, panggung yang berada di bagian bawah lumbung padi berperan sebagai balai. Di Lombok bagian utara, tidak semua desa memiliki lumbung padi.
.
Lumbung padi menjadi ciri khas yang sangat menarik dalam arsitektur suku Sasak. Bangunan Lumbung itu didirikan pada tiang-tiang dengan cara dan ciri khas yang mirip bangunan-bangunan Austronesia.
Bangunan ini memiliki atap berbentuk “topi” yang ditutup ilalang. Empat tiang besar menyangga tiang-tiang melintang di bagian atas tempat kerangka utama dibangun. Bagian atas penopang kayu kemudian menguatkan rangka-rangka bambunya yang semua bagiannya ditutupi ilalang. Satu-satunya yang dibiarkan terbuka adalah sebuah lubang persegi kecil yang terletak tinggi di bagian ujung berfungsi untuk menaruh padi hasil panen. Untuk mencegah hewan pengerat masuk. Piringan kayu besar yang mereka sebut jelepreng, disusun di bagian atas puncak tiang dasarnya.
.
Rumah tradisional Suku Sasak berdenah persegi, tidak berjendela dan hanya memiliki satu pintu dengan pintu ganda yang telah diukir halus. Di bagian dalam, tidak terdapat tiang-tiang penyangga atap. Bubungan atapnya curam, terbuat dari jerami yang memiliki ketebalan kurang lebih 15 centimeter. Atap itu sengaja dibiarkan menganjur ke bagian dinding dasar yang hampir menutupi bagian dinding. Dinding terdiri dari dua bagian, bagian tengah yang menyatu dengan atap dibuat dari bambu, bagian bawah dibuat dari campuran lumpur, dan jerami yang permukaannya telah dipelitur halus.
.
“Rumah Adat Suku Sasak”. Gambar oleh Wacana Nusantara
Rumah digunakan terutama untuk tempat tidur dan memasak. Masyarakat Sasak jarang menghabiskan waktu di dalam rumah sepanjang hari. Di sisi sebelah kiri dibagi untuk tempat tidur anggota keluarga, juga terdapat rak di langit-langitnya untuk menyimpan pusaka dan benda berharga. Anak laki-laki tidur di panggung bawah bagian luar; anak perempuan tidur di atas bagian dalam panggung.
.
Untuk kegiatan memasak, bagian dalam rumah berisi tungku yang berada di sisi sebelah kanan yang dilengkapi rak-rak untuk menyimpan dan mengeringkan jagung. Kayu bakar disimpan di belakang rumah, kadang juga disimpan di bawah panggung.
.
Tradisi dan Seni
Dari sejarahnya yang panjang, Suku Sasak bisa saja diidentifikasikan sebagai budaya yang banyak mendapat pengaruh dari Jawa dan Bali. Pun sejarah mencatatnya demikian, kenyataannya kebudayaan Suku Sasak memiliki corak dan ciri budaya yang khas, asli dan sangat mapan hingga berbeda dengan budaya suku-suku lainnya di Nusantara. Kini, Sasak bahkan dikenal bukan hanya sebagai kelompok masyarakat tapi juga merupakan entitas budaya yang melambangkan kekayaan tradisi Bangsa Indonesia di mata dunia.
.
Berikut beberapa seni dan tradisi yang cukup terkenal dari suku Sasak:
Bau Nyale. Nyale adalah sejenis binatang laut, termasuk jenis cacing (anelida) yang berkembang biak dengan bertelur. Dalam alam kepercaan Suku Sasak, Nyale bukan sekedar binatang, beberapa legenda dari Suku ini yang menceritakan tentang putri yang menjelma menjadi Nyale. Lainnya menyatakan bahwa Nyale adalah binatang anugerah, bahkan keberadaannya dihubungkan dengan kesuburan dan keselamatan.
Ritual Bau Nyale atau menangkap nyale digelar setahun sekali. Biasanya pada tanggal 19 atau 20 pada bulan ke-10 atau ke-11 menurut perhitungan tahun suku Sasak, kurang lebih berkisar antara bulan Februari atau Maret.
.
Rebo Bontong. Suku Sasak percaya bahwa hari Rebo Bontong merupakan hari puncak terjadi bencana dan atau penyakit (Bala) sehingga bagi mereka sesuatu yang tabu jika memulai pekerjaan tepat pada hari Rebo Bontong. Kata Rebo dan juga Bontong kurang lebih artinya “putus” atau “pemutus”.
Upacara Rebo Bontong dimaksudkan untuk dapat menghindari bencana atau penyakit. Upacara ini digelar setahun sekali yaitu pada hari Rabu di minggu terakhir bulan Safar dalam kalender Hijriah.
.
Bebubus Batu. Dari kata “bubus”, yaitu sejenis ramuan obat berbahan dasar beras yang dicampur berbagai jenis tanaman, dan dari kata batu yang merujuk kepada batu tempat melaksanakan upacara.Bebubus Batu adalah upacara yang digelar untuk meminta berkah kepada sang Kuasa. Upacara ini dilaksanakan tiap tahun, dipimpin oleh Penghulu (pemangku adat) dan Kiai (ahli agama). Masyarakat ramai-ramai mengenakan pakaian adat serta membawa dulang, sesajen dari hasil bumi.
.
Sabuk Beleq Merujuk kepada sebuah pustaka sabuk yang besar (Beleq) bahkan panjangnya mencapai 25 meter, masyarakat Lombok khususnya mereka yang berada di wilayah Lenek Daya akan menggelar upacara pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun Hijriah. Tradisi pengeluaran Sabuk Bleeq ini mereka awali dengan mengusung Sabuk Beleq mengelilingi kampung diiringi dengan tetabuhan gendang beleq. Ritual upacara kemudian dilanjutkan dengan menggelar praja mulud hingga diakhiri dengan memberi makan berbagai jenis makhluk. Upacara ini dilakukan untuk mempererat ikatan persaudaraan, persatuan dan gotong royong antar masyarakat, serta cinta kasih di antara makhluk Tuhan.
Lomba Memaos. Memaos kurang lebih artinya membaca dan orang yang membaca di sebut pepaos.Lomba memaos adalah lomba untuk membaca lontar yang menceritakan hikayat dari leluhur mereka. Tujuan lomba pembacaan cerita ini adalah agar generasi selanjutnya dapat mengetahui kebudayaan dan sejarah masa lalu. Selain itu, Lomba ini juga dapat berfungsi sebagai regenerasi nilai-nilai sosia, budaya, dan tradisi pada generasi penerus. Satu kelompok pepaos biasanya terdiri dari 3-4 orang; pembaca, pejangga, dan pendukung vokal.
Tandang Mendet. Tandang Mendet adalah tarian perang Suku Sasak. Konon Tarian ini telah ada sejak zaman Kerajaan Selaparang. Tarian yang menggambarkan keperkasaan dan perjuangan ini dimainkan oleh belasan orang dengan berpakaian dan membawa alat-alat keprajuritan lenggap; kelewang (pedang), tameng, tombak. Tarian diiringi dengan hentakan gendang beleq serta pembacaan syair-syair perjuangan.
Peresean. Kadang ada yang menulisnya Periseian dan atau Presean adalah seni bela diri yang dulu digunakan oleh lingkungan kerajaan. Peresean awalnya adalah latihan pedang dan perisai bagi seorang prajurit. Pada perkembangannya, latihan ini menjadi pertunjukan rakyat untuk menguji ketangkasan dan “keberanian”.
.
“Tarung Peresean Tempo Doeloe”. Foto dari Tropenmuseum
Senjata yang digunakan adalah sebilah rotan yang dilapisi pecahan kaca. Dan untuk menangkis serangan, pepadu (pemain) biasanya membawa sebuah perisai (ende) yan terbuat dari kayu berlapis kulit lembu atau kerbau. Setiap pepadu memakai ikat kepala dan mengenakan kain panjang.
Festival peresean diadakan setiap tahun terutama di Kabupaten Lombok Timur yang akan diikuti olehpepadu dari seluruh Pulau Lombok.
.
Begasingan. Permainan rakyat yang mempunyai unsur seni dan olahraga, bahkan termasuk permainan tradisional yang tergolong tua di masyarakat Sasak. Permainan tradisional ini juga dikenal di beberapa wilayah lain di Indonesia. Hanya saja, Gasing orang sasak ini berbeda baik bentuk maupun aturan permainannya. Gasing besar, mereka namai pemantok, digunakan untuk menghantam gasingpengorong atau pelepas yang ukurannya lebih kecil.
Begasingan berasal dari kata gang yang artinya “lokasi”, dan dari kata sing artinya “suara”. Permainan tradisional ini tak mengenal umur dan tempat, bisa siapa saja, bisa di mana saja.
.
Slober. Alat musik tradisional Lombok yang cukup tua, unik, dan bersahaja. Slober dibuat dari pelepah enau dan ketika dimainkan alat musik ini biasanya didukung dengan alat musik lainnya seperti gendang, gambus, seruling, dll. Kesenian yang masih dapat anda saksikan hingga saat ini, sangat asyik jika dimainkan ketika malam bulan purnama.
.
Gendang Beleq. Satu dari kesenian Lombok yang mendunia. Gendang Beleq merupakan pertunjukan dengan alat perkusi gendang berukuran besar (Beleq) sebagai ensembel utamanya. Komposisi musiknya dapat dimainkan dengan posisi duduk, berdiri, dan berjalan untuk mengarak iring-iringan.
Ada dua jenis beleq yang berfungsi sebagai pembawa dinamika yaitu gendang laki-laki atau gendang mama dan gendang nina atau gendang perempuan).
.
Sebagai pembawa melodi adalah gendang kodeq atau gendang kecil. Sedangkan sebagai alat ritmis adalah dua buah reog, 6-8 buah perembak kodeq, sebuah petuk, sebuah gong besar, sebuah gong penyentak , sebuah gong oncer, dan dua buah lelontek. Menurut cerita, gendang beleq dahulu dimainkan bila ada pesta-pesta yang diselenggarakan oleh pihak kerajaan. Bila terjadi perang gendang ini berfungsi sebagai penyemangat prajurit yang ikut
2. Suku Sumbawa
Tau samawa asal kata dari Tau yang berarti orang, dan Samawa adalah nama
lain dari Sumbawa. jadi Tau samawa adalah orang yang menempati atau
masyarakat yang menempati pulau sumbawa,tau samawa juga adalah sebuah
suku yang mendiami pulau sumbawa. Samawa adalah sebutan yang biasa
digunakan oleh penduduk lokal untuk Sumbawa. Berubahnya kata samawa
menjadi Sumbawa lebih dipengaruhi oleh penjajahan belanda pada masa
lampau tepatnya pada jaman kolonial Belanda. Penjajah belanda meyebut
Samawa dengan kata Zhambava dan seiring waktu dan juga penyebutan dengan
lidah indonesia Zhambava menjadi sumbawa, sama halnya dengan
daerah-daerah lain di Indonesia seperti Jawa menjadi Java.
Banyak versi yang menyebutkan asal mula suku sumbawa (tau samawa) salah santunya ada yang menyebutkan bahwa tau samawa (suku Sumbawa) berasal dari Gowa,makassar yang dibuang oleh kerajaan Gowa. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kesamaan tradisi, budaya dan adat istiadat. Senjata tradisional, pakaian adat dan lain-lain. Bahkan karakter yang keras jugas masih bisa ditemui.
Masakan khas
Sumbawa memiliki banyak makanan khas namun orang yang bersala dari pulau sumbawa hanyak mengenal kuda, madu dan susu kuda liar. Memang saat orang mendengar kata Sumbawa mereka langsung identik dengan tigal hal tersebut dan perlu saya tambahkan satu lagi adalah PANASSSSS..... Masakan khas sumbawa diantaranya sepat, singang, siong sira, manjareal (kue) dan masih banyak lagi sulit untuk saya sebutkan apalagi menjelaskan satu-satu atau bagaimana cara membuatnya tentu saya bukan ahlinya.
Tapi jika memang anda penasaran ada baiknya anda datang sendiri dan belajar cara membuatnya, bagaimana?
Oh ya saya hampir lupa ada satu lagi khas sumbawa yaitu minyak sumbawa. Minyak yang bisa digunakan untuk mengobati, memijat baik itu untuk di oles ataupun di minum dan memang terkenal ampuh untuk mengobati segala penyakit.
Mungkin artikel ini belumlah terlalu lengkap untuk menjelaskan semua keunikan dan pariwisata di pulau Sumbawa tapi semoga bisa menjadi bahan untuk sedikit mengetahui tanah Sumbawa. Kalau ada yang kurang tolong ditambah/comment nanti saya akan tambahkan lagi biar tulisannya jadi panjangSumbawa,
Banyak versi yang menyebutkan asal mula suku sumbawa (tau samawa) salah santunya ada yang menyebutkan bahwa tau samawa (suku Sumbawa) berasal dari Gowa,makassar yang dibuang oleh kerajaan Gowa. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kesamaan tradisi, budaya dan adat istiadat. Senjata tradisional, pakaian adat dan lain-lain. Bahkan karakter yang keras jugas masih bisa ditemui.
Masakan khas
Sumbawa memiliki banyak makanan khas namun orang yang bersala dari pulau sumbawa hanyak mengenal kuda, madu dan susu kuda liar. Memang saat orang mendengar kata Sumbawa mereka langsung identik dengan tigal hal tersebut dan perlu saya tambahkan satu lagi adalah PANASSSSS..... Masakan khas sumbawa diantaranya sepat, singang, siong sira, manjareal (kue) dan masih banyak lagi sulit untuk saya sebutkan apalagi menjelaskan satu-satu atau bagaimana cara membuatnya tentu saya bukan ahlinya.
Tapi jika memang anda penasaran ada baiknya anda datang sendiri dan belajar cara membuatnya, bagaimana?
Oh ya saya hampir lupa ada satu lagi khas sumbawa yaitu minyak sumbawa. Minyak yang bisa digunakan untuk mengobati, memijat baik itu untuk di oles ataupun di minum dan memang terkenal ampuh untuk mengobati segala penyakit.
Mungkin artikel ini belumlah terlalu lengkap untuk menjelaskan semua keunikan dan pariwisata di pulau Sumbawa tapi semoga bisa menjadi bahan untuk sedikit mengetahui tanah Sumbawa. Kalau ada yang kurang tolong ditambah/comment nanti saya akan tambahkan lagi biar tulisannya jadi panjangSumbawa,
sejarah yang hilang
Berbicara tentang sejarah sebuah daerah,mungkin cara yang paling cepat
adalah menelusuri peninggalan budaya yang masih tersisa dari daerah
tersebut.Begitu pula jika kita ingin membuka catatan sejarah Kabupaten
Sumbawa, kita masih bisa menemukan sejumlah atibut yang masih tersisa
misalnya istana tua ( dalam Loka ) bekas istana raja sumbawa,walau
sekarang tinggal rangka-rangka kayu yang tidak jelas nasib nya. Atau
sejumlah areal dan bangunan lain yang masih kokoh, kendati pula telah
berubah fungsi.Kita mulai saja dari areal dan bangunan Istana Tua yang
terletak dikelurahan Seketeng Kecamatan Sumbawa.
Sebelum Dalam Loka dibangun di atas lokasi yang sama pernah dibangun pula beberapa istana kerajaan pendahulu. Diantaranya Istana Bala Balong, Istana Bala Sawo dan Istana Gunung Setia. Istana-istana ini telah lapuk dimakan usia bahkan diantaranya ada yang terbakar habis di makan api. Sebagai gantinya, dibangunlahsebuah istana kerajaan yang cukup besar ukurannya beratap kembar serta dilengkapi dengan berbagai atribut. Istana yang dibangun terakhir ini bernama Dalam Loka.Peninggalan Kesultanan Sumbawa ini didirikan pada tahun 1885 oleh Sultan Muhamad Jalaluddin III (1883-1931).
Sebelum Dalam Loka dibangun di atas lokasi yang sama pernah dibangun pula beberapa istana kerajaan pendahulu. Diantaranya Istana Bala Balong, Istana Bala Sawo dan Istana Gunung Setia. Istana-istana ini telah lapuk dimakan usia bahkan diantaranya ada yang terbakar habis di makan api. Sebagai gantinya, dibangunlahsebuah istana kerajaan yang cukup besar ukurannya beratap kembar serta dilengkapi dengan berbagai atribut. Istana yang dibangun terakhir ini bernama Dalam Loka.
Sekarang Dalam Loka yang kebanggaan Tau Samawa ( masyarakat Sumbawa ) hampir hilang ditelan kelalaian dan ketidak pedulian dari Pemerintah.Sejak tiga tahun yang lalu renovasi Istana Tua ini berjalan mandeg dan tidak ada tanda-tanda penyelesaiannya. Ditambah lagi komplek istana tua yang semestinya steril dari bangunan apapun, kini dikotori oleh bangunan rumah keluarga sultan yang ikut-ikutan mengklaimnya sebagai milik pribadi.
Kemudian areal bersejarah lainnya, yakni " Lenang Lunyuk " atau lapangan besar yang berada dibagian atau samping barat Istana Tua, sekarang sudah hilang menjadi bagian atau komplek Mesjid Nurul Huda Sumbawa Besar bahkan termasuk mesjid tersebut yang dulunya bernama " Masjid Makam "adalah peninggalan sejarah masa lalu yang semestinya tidak dilakukan perombakan total karena baik Istana Tua, Lenang Lunyuk dan Masjid Makam itu adalah bagian dari sebuah sejarah yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Tidak jauh dari Istana Tua, Lenang Lunyuk maupun Masjid Makam, sekitar 500 meter kearah utara pada tahun 1934 dibangun sebuah istana modern oleh Belanda.Hingga kini istana yang lebih populer disebut Wisma Praja atau Pendopo Kabupaten itu masih berdiri kokoh. Wisma Praja ini sempat menjadi kantor terakhir Sultan Sumbawa Kaharuddin III sebelum pindah ke Bala Kuning yang khusus dibangun oleh keluarga Sultan. Bala Kuning ini adalah sebuah rumah besar ber-cat kuning dididiami sultan Sumbawa hingga beliau wafat.
Di Komplek Wisma Praja sendiri,sekarang sudah berdiri bangunan rumah dinas Bupati ( dibag.Barat ) kemudian bagian Timur dibangun lapangan tenis untuk para pejabat. Di Bagian timur ini dahulunya ada sebuah sumur keramat yang bisa saja dilestarikan sebagai peninggalan sejarah. Namun sumur yang dikenal dengan nama Sumir Batir dengan kedalaman 19 meter itu sudah ditutup. Sebelumnya bagian selatan komplek wisma praja ini juga sudah dipangkas. Dahulu tempat ini berdiri rumah-rumah dinas kediaman para pegawai kerajaan. Sekarang sudah hilang dan areal ini sudah berganti wajah,menjadi bangunan Sekolah Dasar, Kantor Kelurahan Brang Bara dan TK Pertiwi Sumbawa Besar.
Masih dikomplek Wisma Derah ; dibagian depannya ada sebuah bangunan bertingkat tiga yang juga sangat unik. Bangunan ini dikenal dengan " Bale Jam " atau rumah lonceng, karena dilantai 3 bagunan ini tergantung lonceng berukuran besar yang khusus didatangkan dari Belanda. Genta ini setiap waktu dibunyikan oleh seorang petugas, sehingga semua warga mengetahui waktu saat itu. Sekarang tidak lagi terdengar suara lonceng,padahal pasangan Bupati dan Wk.Bupati Sumbawa ketika berkampanye dulu menjadi salah satu janjinya, akan memfungsikan kembali rumah lonceng itu. Yaaa...janjiku adalah bualan ku...ha-ha-ha.
Jika kita melintas didepan Bale Jam atau wisma daerah, kita mungkin tidak sadar berada diatas sebuah jalan yang khusus diberi nama Jalan Pahlawan dan jika kita menghadap ke utara akan terlihat sebuah lapangan yang namanya juga Lapangan Pahlawan. Kecuali Jalan Pahlawan, Lapangan Pahlawan yang memiliki alur sejarah tersendiri walau tidak terlepas dari sejarah wisma daerah itu, kini sudah berubah fungsi menjadi taman kota. Membuat taman kota ini,sama saja dengan aksi menghilangkan nilai sejarah.
Berbatasan dengan lapangan pahlawan ada sebuah parit yang sangat terkenal. Parit ini bernama " Kokar Dano ". Kokar berarti parit yang hanya pada musim penghujan mengalirkan air. Dano adalah nama seseorang yang menjadi penunggu atau pengawas dari parit tersebut. Bukan itu yang ingin saya ceritakan. Parit ini tidak terbentuk secara alami, namun khusus dibuat pada saat pembangunan baru Istana Tua pada tahun 1885. Kokar Dano ini berawal dari Kantor Camat Sumbawa sekarang bersambung dengan aliran parit dari sawah yang berada dibagian timurnya. Kokar dano ini hanya sepanjang 1 Km dan berujung di sungai brang bara ( belakang komplek perokoan Jl.Kartini sekarang ).
Parit atau kokar dano ini dibuat sebagai pembatas wilayah istana kerajaan yang tidak boleh ditembus oleh sembarang orang.Bahkan orang Belanda pun tidak boleh sembarang masuk areal ini. Di Kokar Dano ini dibangun sebuah jembatan kayu ( letaknya berseberangan dengan kediaman alm.H.Khaeruddin Nurdin sekarang ). Lewat jembatan kecil ini lah setiap tamu kerajaan dipersilah memasuki areal istana kerajaan.Tamu-tamu yang dimaksud adalah tamu yang akan menghadap Raja. Mereka biasa datang dari jauh, dari seberang lautan.
Para tamu kerajaan yang datang dari seberang lautan, menambatkan kapalnya persis di pelabuhan Jembatan Pelimpat sekarang ( jembatan menuju bandar udara brang biji ) Dari sini para tamu itu dipersilahkan untuk berteduh atau berkemah di sebuah tempat yang sekarang dikenal dengan Karang atau Desa Bugis, tepatnya di bagian Barat jl.Mawar Sumbawa Besar. Tempat ini juga disebut sebagai karang Makam, karena disinilah dikuburkan para tamu yang datang dari jauh. Disebut Karang Bugis, karena orang yang pertama datang menemui sultan sumbawa kala itu datang dari bugis Sulawesi.
Setiap tamu yang datang menghadap raja, harus menambatkan kudanya di seberang kokar dano. Tempat tambatan kuda, tamu raja sumbawa itu, kemudian menjadi bioskop seorang tokoh tionghoa dan sekarang bediri sebuah pusat perbelanjaan.
Inilah sekelumit sejarah yang tidak pernah terpikirkan bagaimana melestarikan. Ingat bahwa dahulu, Sumbawa ini bukanlah tanah tak bertuan.
Sebelum Dalam Loka dibangun di atas lokasi yang sama pernah dibangun pula beberapa istana kerajaan pendahulu. Diantaranya Istana Bala Balong, Istana Bala Sawo dan Istana Gunung Setia. Istana-istana ini telah lapuk dimakan usia bahkan diantaranya ada yang terbakar habis di makan api. Sebagai gantinya, dibangunlahsebuah istana kerajaan yang cukup besar ukurannya beratap kembar serta dilengkapi dengan berbagai atribut. Istana yang dibangun terakhir ini bernama Dalam Loka.Peninggalan Kesultanan Sumbawa ini didirikan pada tahun 1885 oleh Sultan Muhamad Jalaluddin III (1883-1931).
Sebelum Dalam Loka dibangun di atas lokasi yang sama pernah dibangun pula beberapa istana kerajaan pendahulu. Diantaranya Istana Bala Balong, Istana Bala Sawo dan Istana Gunung Setia. Istana-istana ini telah lapuk dimakan usia bahkan diantaranya ada yang terbakar habis di makan api. Sebagai gantinya, dibangunlahsebuah istana kerajaan yang cukup besar ukurannya beratap kembar serta dilengkapi dengan berbagai atribut. Istana yang dibangun terakhir ini bernama Dalam Loka.
Sekarang Dalam Loka yang kebanggaan Tau Samawa ( masyarakat Sumbawa ) hampir hilang ditelan kelalaian dan ketidak pedulian dari Pemerintah.Sejak tiga tahun yang lalu renovasi Istana Tua ini berjalan mandeg dan tidak ada tanda-tanda penyelesaiannya. Ditambah lagi komplek istana tua yang semestinya steril dari bangunan apapun, kini dikotori oleh bangunan rumah keluarga sultan yang ikut-ikutan mengklaimnya sebagai milik pribadi.
Kemudian areal bersejarah lainnya, yakni " Lenang Lunyuk " atau lapangan besar yang berada dibagian atau samping barat Istana Tua, sekarang sudah hilang menjadi bagian atau komplek Mesjid Nurul Huda Sumbawa Besar bahkan termasuk mesjid tersebut yang dulunya bernama " Masjid Makam "adalah peninggalan sejarah masa lalu yang semestinya tidak dilakukan perombakan total karena baik Istana Tua, Lenang Lunyuk dan Masjid Makam itu adalah bagian dari sebuah sejarah yang tidak terpisahkan satu sama lain.
Tidak jauh dari Istana Tua, Lenang Lunyuk maupun Masjid Makam, sekitar 500 meter kearah utara pada tahun 1934 dibangun sebuah istana modern oleh Belanda.Hingga kini istana yang lebih populer disebut Wisma Praja atau Pendopo Kabupaten itu masih berdiri kokoh. Wisma Praja ini sempat menjadi kantor terakhir Sultan Sumbawa Kaharuddin III sebelum pindah ke Bala Kuning yang khusus dibangun oleh keluarga Sultan. Bala Kuning ini adalah sebuah rumah besar ber-cat kuning dididiami sultan Sumbawa hingga beliau wafat.
Di Komplek Wisma Praja sendiri,sekarang sudah berdiri bangunan rumah dinas Bupati ( dibag.Barat ) kemudian bagian Timur dibangun lapangan tenis untuk para pejabat. Di Bagian timur ini dahulunya ada sebuah sumur keramat yang bisa saja dilestarikan sebagai peninggalan sejarah. Namun sumur yang dikenal dengan nama Sumir Batir dengan kedalaman 19 meter itu sudah ditutup. Sebelumnya bagian selatan komplek wisma praja ini juga sudah dipangkas. Dahulu tempat ini berdiri rumah-rumah dinas kediaman para pegawai kerajaan. Sekarang sudah hilang dan areal ini sudah berganti wajah,menjadi bangunan Sekolah Dasar, Kantor Kelurahan Brang Bara dan TK Pertiwi Sumbawa Besar.
Masih dikomplek Wisma Derah ; dibagian depannya ada sebuah bangunan bertingkat tiga yang juga sangat unik. Bangunan ini dikenal dengan " Bale Jam " atau rumah lonceng, karena dilantai 3 bagunan ini tergantung lonceng berukuran besar yang khusus didatangkan dari Belanda. Genta ini setiap waktu dibunyikan oleh seorang petugas, sehingga semua warga mengetahui waktu saat itu. Sekarang tidak lagi terdengar suara lonceng,padahal pasangan Bupati dan Wk.Bupati Sumbawa ketika berkampanye dulu menjadi salah satu janjinya, akan memfungsikan kembali rumah lonceng itu. Yaaa...janjiku adalah bualan ku...ha-ha-ha.
Jika kita melintas didepan Bale Jam atau wisma daerah, kita mungkin tidak sadar berada diatas sebuah jalan yang khusus diberi nama Jalan Pahlawan dan jika kita menghadap ke utara akan terlihat sebuah lapangan yang namanya juga Lapangan Pahlawan. Kecuali Jalan Pahlawan, Lapangan Pahlawan yang memiliki alur sejarah tersendiri walau tidak terlepas dari sejarah wisma daerah itu, kini sudah berubah fungsi menjadi taman kota. Membuat taman kota ini,sama saja dengan aksi menghilangkan nilai sejarah.
Berbatasan dengan lapangan pahlawan ada sebuah parit yang sangat terkenal. Parit ini bernama " Kokar Dano ". Kokar berarti parit yang hanya pada musim penghujan mengalirkan air. Dano adalah nama seseorang yang menjadi penunggu atau pengawas dari parit tersebut. Bukan itu yang ingin saya ceritakan. Parit ini tidak terbentuk secara alami, namun khusus dibuat pada saat pembangunan baru Istana Tua pada tahun 1885. Kokar Dano ini berawal dari Kantor Camat Sumbawa sekarang bersambung dengan aliran parit dari sawah yang berada dibagian timurnya. Kokar dano ini hanya sepanjang 1 Km dan berujung di sungai brang bara ( belakang komplek perokoan Jl.Kartini sekarang ).
Parit atau kokar dano ini dibuat sebagai pembatas wilayah istana kerajaan yang tidak boleh ditembus oleh sembarang orang.Bahkan orang Belanda pun tidak boleh sembarang masuk areal ini. Di Kokar Dano ini dibangun sebuah jembatan kayu ( letaknya berseberangan dengan kediaman alm.H.Khaeruddin Nurdin sekarang ). Lewat jembatan kecil ini lah setiap tamu kerajaan dipersilah memasuki areal istana kerajaan.Tamu-tamu yang dimaksud adalah tamu yang akan menghadap Raja. Mereka biasa datang dari jauh, dari seberang lautan.
Para tamu kerajaan yang datang dari seberang lautan, menambatkan kapalnya persis di pelabuhan Jembatan Pelimpat sekarang ( jembatan menuju bandar udara brang biji ) Dari sini para tamu itu dipersilahkan untuk berteduh atau berkemah di sebuah tempat yang sekarang dikenal dengan Karang atau Desa Bugis, tepatnya di bagian Barat jl.Mawar Sumbawa Besar. Tempat ini juga disebut sebagai karang Makam, karena disinilah dikuburkan para tamu yang datang dari jauh. Disebut Karang Bugis, karena orang yang pertama datang menemui sultan sumbawa kala itu datang dari bugis Sulawesi.
Setiap tamu yang datang menghadap raja, harus menambatkan kudanya di seberang kokar dano. Tempat tambatan kuda, tamu raja sumbawa itu, kemudian menjadi bioskop seorang tokoh tionghoa dan sekarang bediri sebuah pusat perbelanjaan.
Inilah sekelumit sejarah yang tidak pernah terpikirkan bagaimana melestarikan. Ingat bahwa dahulu, Sumbawa ini bukanlah tanah tak bertuan.
Masyarakat
Bima yang sekarang kita kenal merupakan perpaduan dari berbagai suku,
etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air.
Akan
tetapi pembentukan masyarakat Bima yang lebih dominan adalah berasal
dari imigrasi yang dilakukan oleh etnis di sekitar Bima. Karena
beragamnya etnis dan budaya yang masuk di Bima, maka tak heran agama pun
cukup beragam meskipun 90% lebih masyarakat Bima sekarang beragama
Islam. Untuk itu, dalam pembahasan berikut akan kita lihat bagaimana
keragaman masyarakat Bima tersebut, baik dilihat dari imigrasi secara
etnis/budaya maupun secara agama/kepercayaan.
Variasi
Masyarakat Bima Berdasarkan Etnis/Budaya Orang Donggo Orang Donggo
dikenal sebagai penduduk asli yang telah menghuni tanah Bima sejak lama.
Mereka sebagian besar menempati wilayah pegunungan. Karena letaknya
yang secara geografis di atas ketinggian rata-rata tanah Bima, Dou
Donggo (sebutan bagi Orang Donggo dalam bahasa Bima), kehidupan mereka
sangat jauh berbeda dengan kehidupan yang dijalani masyarakat Bima saat
ini. Masyarakat Donggo mendiami sebagian besar wilayah Kecamatan Donggo
sekarang, yang dikenal dengan nama Dou Donggo Di, sebagian lagi mendiami
Kecamatan Wawo Tengah (Wawo pegunungan) seperti Teta, Tarlawi, Kuta,
Sambori dan Kalodu Dou Donggo Ele. Pada awalnya, sebenarnya penduduk
asli ini tidak semuanya mendiami wilayah pegunungan.
Salah
satu alasan mengapa mereka umumnya mendiami wilayah pegunungan adalah
karena terdesak oleh pendatang-pendatang baru yang menyebarkan budaya
dan agama yang baru pula, seperti agama Islam, Kristen dan bahkan
Hindu/Budha. Hal ini dilakukan mengingat masih kuatnya kepercayaan dan
pengabdian mereka pada adat dan budaya asli yang mereka anut jauh-jauh
hari sebelum para pendatang tersebut datang.
Kepercayaan
asli nenek moyang mereka adalah kepercayaan terhadap Marafu (animisme).
Kepercayaan terhadap Marafu inilah yang telah mempengaruhi segala pola
kehidupan masyarakat, sehingga sangat sukar untuk ditinggalkan meskipun
pada akhirnya seiring dengan makin gencarnya para penyiar agama Islam
dan masuknya para misionaris Kristen menyebabkan mereka menerima
agama-agama yang mereka anggap baru tersebut.
Sebagaimana
umumnya mata pencaharian masyarakat yang masih tergolong tradisional,
mata pencaharian Dou Donggo pun terpaku pada berladang dan bertani.
Sebelum mengenal cara bercocok tanam, mereka biasanya melakukan
perladangan berpindah-pindah, dan karena itu tempat tinggal mereka pun
selalu berpindah-pindah pula (nomaden). Berhadapan dengan kian gencarnya
arus modernisasi, seiring itu pula pemahaman masyarakat akan kenyataan
hidup berubah, terutama dalam hal pendidikan dan teknologi.
Saat
ini, telah sekian banyak para sarjana asli Donggo, yang umumnya menimba
ilmu di luar daerah seperti Ujung Pandang, Mataram atau bahkan ke
kota-kota di pulau Jawa seperti Bandung, Yogyakarta, Jakarta dan
lain-lain. Demikian juga halnya dengan teknologi, yang akhirnya merubah
pola hidup mereka seperti halnya dalam penggarapan sawah, kendaraan
sampai alat-alat elektronik rumah tangga, karena hampir semua daerahnya
telah dialiri listrik. Bahkan tak jarang mereka menjadi para penyiar
agama seperti Da’i, karena telah begitu banyaknya mereka naik haji.
Dou
Mbojo (Orang Bima) Dou Mbojo yang dikenal sekarang awalnya merupakan
para pendatang yang berasal dari daerah-daerah sekitarnya seperti
Makassar, Bugis, dengan mendiami daerah-daerah pesisir Bima. Mereka
umumnya berbaur dengan masyarakat asli dan bahkan menikahi
wanita-wanitanya. Para pendatang ini dating pada sekitar abad XIV, baik
yang datang karena faktor ekonomi seperti berdagang maupun untuk
menyiarkan agama sebagai mubaliqh.
Mata
pencaharian mereka cukup berfariasi seperti halnya bertani, berdagang,
nelayan/pelaut dan sebagian lagi sebagai pejabat dan pegawai pemerintah.
Karena pada awalanya mereka adalah pendatang, pada beberapa generasi
kemudian banyak juga yang merantau ke luar daerah untuk berbagai
keperluan dan profesi seperti sebagai pegawai daerah, sekolah/kuliah,
menjadi polisi/tentara, pedagang dan lain-lain. Umumnya mereka memiliki
sifat ulet, mudah menyesuaikan diri dengan orang lain dan bahkan kasar.
Hingga
kini, beberapa daerah di Bima mewarisi sifat-sifat kasar ini seperti
beberapa daerah (desa) di Kecamatan Sape, Wera dan Belo. Orang Arab dan
Melayu Orang Melayu umumnya berasal dari Minangkabau dan daerah-daerah
lain di Sumatera, baik sebagai pedagang maupun sebagai mubaliqh. Jumlah
mereka termasuk minoritas, yang pada awalnya menempati daerah Bima
pesisir Teluk Bima, Kampung Melayu dan Benteng. Terdorong oleh arus
mobilitas penduduk yang cukup cepat, sekarang sebagian besar mereka
telah membaur ke wilayah-wilayah pedalaman bersama masyarakat Bima
lainnya.
Orang
Arab pun datang ke Bima sebagai pedagang dan mubaliqh. Awal kedatangan
orang Arab umumnya sangat tertekan karena harus berhadapan dengan
masyarakat Bima yang sudah cukup variatif. Mereka dianggap sebagai
pendatang dari Arab, sebagai turunan Nabi. Akan tetapi, sekarang mereka
telah diterima secara umum dan wajar, serta telah berbaur dengan
masyarakat. Bahkan seiring dengan kuatnya pengaruh Islam melalui
Hadirnya Kesultanan Bima, termasuk orang Melayu, sering dianggap
istimewa karena biasanya pada masa Kesultanan Bima mereka diangkat
sebagai Da’I dan pejabat hadat di seluruh pelosok tanah Bima.
Pendatang
Lainnya Para pendatang ini datang dengan latar belakang yang beragam,
dengan menduduki berbagai profesi baik sebagai pejabat pemerintah,
polisi/tentara, pedagang/pengusaha. Mereka datang dari Jawa, Madura,
Ambon, Flores, Timor-Timur, Banjar, Bugis, Bali, Lombok yang kemudian
membaur dan menikah dengan masyarakat Bima asli maupun dengan para
pendatang lain. Orang Cina tak ketinggalan memiliki peran di Bima, yang
umumnya berprofesi sebagai pedagang. Dari segi jumlah, orang Cina memang
tergolong kecil namun karena mereka sangat gigih dan ulet, peran mereka
dalam perekonomian Bima sangat signifikan.
Variasi
Masyarakat Bima Berdasarkan Agama Kepercayaan Makakamba - Makakimbi
Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli penduduk Dou Mbojo. Sebagai
media penghubung manusia dengan alam lain dalam kepercayaan ini,
diangkatlah seorang pemimpin yang dikenal dengan nama Ncuhi Ro Naka.
Mereka percaya bahwa ada kekuatan yang mengatur segala kehidupan di alam
ini, yang kemudian mereka sebut sebagai “Marafu”. Sebagai penguasa
alam, Marafu dipercaya menguasai dan menduduki semua tempat seperti
gunung, pohon rindang, batu besar, mata air, tempat-tempat-tempat dan
barang-barang yang dianggap gaib atau bahkan matahari. Karena itu,
mereka sering meminta manfaat terhadap benda-benda atau tempat-tempat
tersebut.
Selain
itu, mereka juga percaya bahwa arwah para leluhur yang telah meninggal
terutama arwah orang-orang yang mereka hormati selama hidup seperti
Ncuhi, masih memiliki peran dan menguasai kehidupan dan keseharian
mereka. Mereka percaya, arwah-arwah tersebut tinggal bersama Marafu di
tempat-tempat tertentu yang dianggap gaib.
Masyarakat
asli juga memiliki tradisi melalui ritual untuk menghormati arwah
leluhur, dengan mengadakan upacara pemujaan pada saat-saat tertentu.
Upacara tersebut disertai persembahan sesajen dan korban hewan ternak
yang dipimpin oleh Ncuhi. Tempat-tempat pemujaan tersebut biasa dikenal
dengan nama “Parafu Ra Pamboro”. Agama Hindu Sampai saat ini belum ada
ilmuwan/sejarawan yang mengetahui secara pasti kapan agama Hindu
memasuki tanah Bima. Dari sekian petunjuk peninggalan sejarah yang
berupa prasasti maupun berbentuk monumen seperti prasasti Wadu Pa’a yang
dipahat Sang Bima saat mengembara ke arah timur pada sekitar
pertengahan abad VIII, bekas candi di Ncandi Monggo, prasasti Wadu Tunti
di Rasabou Donggo, kuburan kuno Padende dan Sanggu di Pulau Sangiang,
tidak meninggalkan informasi yang jelas tentang masuknya agama Hindu.
Pengaruh
agama Hindu dari Bali dan Lombok yang cukup besar tidak mampu menembus
wilayah Bima, dan hanya bertahan di wilayah Dompu dan sebagian daerah
Bolo. Agama Kristen Secara umum, Dou Mbojo tidak senang dengan
kedatangan agama ini. Agama Kristen dianggap sebagai agama orang luar
yang sangat berbeda dengan kenyataan hidup dan budaya mereka.
Meskipun
agama Kristen kurang mendapat angin segar dari Dou Mbojo, namun agama
ini berhasil menyebar dan dianut oleh masyarakat pendatang lainnya
seperti pendatang dari Timur, anggota polisi/tentara, serta pendatang
dari Jawa dan Manado, yang awalnya mendiami daerah-daerah pesisir Bima
dan kemudian sebagian kecil lagi memasuki daerah-daerah pedalaman.
Akhir-akhir ini, tampaknya kegagalan sejarah tersebutlah yang kemudian
memotivasi kembali kaum misionaris untuk melancarkan misinya ke
daerah-daerah pelosok dan kepada masyarakat yang mendiami wilayah
pegunungan dan tergolong terbelakang, melalui apa yang dikenal dengan
program “Plan”.
Namun,
lagi-lagi misi ini bukan tak ada hambatan, karena kemudian Majelis
Ulama Indonesia NTB melarang keberadaan mereka dengan segala
aktivitasnya. Agama Islam Ada dua alasan utama kenapa agama Islam dapat
lebih mudah diterima di Bima. Pertama, jauh-jauh waktu sebelum
diberlakukannya secara resmi sebagai agama kerajaan, masyarakat Bima
sudah lebih dulu mengenal agama Islam melalui para penyiar agama dari
tanah Jawa, Melayu bahkan dari para pedagang Gujarat dari India dan Arab
di Sape pada tahun 1609 M, yang awalnya dianut oleh masyarakat pesisir.
Kedua, tentu saja peran yang penting adalah peralihan dari masa
kerajaan kepada masa kesultanan yang kemudian secara resmi menjadikan
agama Islam sebagai agama yang umum dianut oleh masyarakat Bima.
Letak
Bima yang strategis sangat mendukung sebagai jalur perdagangan antar
daerah bahkan sebagai jalur transportasi perdagangan laut internasional,
yang didukung dengan keberadaan Pelabuhan Sape. Sebagai sultan pertama,
diangkatlah Sultan Abdul Kahir pada tanggal 5 Juli 1620 M. Kehadiran
sultan pertama ini memiliki pengaruh yang besar dan luas sehingga
penyebaran agama Islam begitu cepat di seluruh pelosok tanah Bima,
kecuali di daerah-daerah tertentu seperti di Donggo yang masih bertahan
pada kepercayaan nenek moyang. Selain Donggo, Wawo juga termasuk
sebagian daerahnya masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang. Akan
tetapi pada beberapa generasi berikutnya mereka mulai menerima Islam,
karena makin sulitnya arus komunikasi terbatas internal yang mereka
lakukan sesamanya serta makin meluasnya arus komunikasi masyarakat yang
beragama Islam.
Sekarang,
bahkan di daerah-daerah yang dulu memegang kuat adat nenek moyang,
hampir tidak dapat dibedakan antara Islam dengan budaya setempat. Dalam
kehidupan yang demikian Islami tersebut, muncul satu ikrar setia pada
Islam dalam bentuk ikrar yang berbunyi “Mori ro made na Dou Mbojo ede
kai hukum Islam-ku” yang berarti “Hidup dan matinya orang Bima harus
dengan hukum Islam”. Untuk menguatkan ikrar ini, bahkan sejak masa
kesultanan telah dibentuk sebuah majelis yang dikenal dengan Hadat Tanah
Bima, yang bertugas dan bertanggung jawab selain sebagai sarana
penyiaran dan penyebaran Islam juga sebagai penentu segala kebijakan
kesultanan yang berdasarkan Islam dan kitabnya. Penyebaran yang demikian
pesat ini juga diiringi dengan berkembangnya berbagai pusat pendidikan
dan pengajaran Islam, serta masjid-masjid selalu menghiasi di setiap
desa dan kampung tanah Bima.
Pusat-pusat
pengajaran Islam tidak hanya berkembang melalui pesantren, bahkan
berkembang dari rumah ke rumah, terbukti dengan menjamurnya tempat
pengajian di rumah-rumah yang menggema dan melantunkan ayat-ayat suci
Al-Quran di setiap sore dan malam hari. Pada masa kesultanan juga
diperlakukan aturan yang bersendikan hukum Islam dengan mendirikan Badan
Hukum Syara atau Mahkamah Tussara’iyah, yang mengirim pemuda-pemuda
Bima untuk belajar memperdalam kaidah dan pengetahuan Islam ke Mekkah,
Mesir, Istamul dan Bagdad serta negara-negara Arab lainnya. Bahkan telah
diusahakan tanah wakaf di Mekkah untuk menjamu jamaah calon haji Dou
Mbojo yang selalu membanjir setiap tahunnya untuk menunaikan ibadah
haji. Demikian dua model variasi masyarakat Bima yang kita lihat dan
kenal sekarang. Meski demikian, pada perkembangan-perkembangan terakhir
sebagaimana kenyataan yang dihadapi masyarakat Indonesia umumnya dengan
semakin cepatnya arus modernisasi, kenyataan tersebut secara perlahan
mengalami perubahan.
Berbagai
perubahan tersebut semakin memberi warna, baik putih maupun hitam,
dalam beragam kehidupan dan keseharian masyarakat Bima. Sebagai penutup,
yang kita harapkan bersama semoga masyarakat Bima tetap memegang teguh
pada nilai-nilai kearifan yang sudah tertanam sejak nenek moyang mereka,
dan benar-benar menghayati serta mengamalkan petuah “Maja Labo Dahu,
Nggahi Rawi Pahu” dan petuah-petuah lainnya kapan dan di manapun mereka
berada.
Asal Mula Nama Lombok
Lombok adalah nama yang berarti cabe dalam bahasa Jawa dan juga
merupakan salah satu pulau yang ada di Kepulauan Nusa Tenggara Barat. Di
kepulauan Lombok ini terdapat suku bangsa yang bernama Sasak. Dari
bahasa dearah suku sasak di daerah sana Lombok di baca “ Lombo “ artinya
lurus dan suku bangsa sasak berarti perahu bercadik. Ikutilah cerita
berikut ini tentang Asal Usul Pulau Lombok dan suku Sasak di daerah
sana.
Dahulu kala, Kerajaan Mataram di Jawa Tengah dipimpin oleh seorang raja
wanita yang ahli dalam pemerintahan dan bernama Pramudawardhani.
Suaminya Rakai Pikatan dia ahli dalam ahli peperangan. Wilayah
kekuasaannya terbentang luas di daratan Jawa dan sekitarnya. Ketika
itulah banyak rakyat Mataram pergi berlayar ke arah timur melalui Laut
Jawa menggunakan perahu bercadik.
Konon mereka berlayar ke arah timur untuk menghindari pekerjaan berat
yang sedang berlangsung. Karena pada zaman itu Candi – candi seperti
Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Candi Kalasan sedang dibangun.
Demikianlah mereka berlayar terus ke arah timur hingga menemukan sebuah
daratan dan mereka berlabuh di daratan tersebut, daratan tempat mereka
berlabuh tersebut diberi nama Lomboq (lurus), untuk mengenang perjalanan
panjang.
Setelah beberapa waktu berlanjut, Lomboq menjadi nama dearah di sana dan
lama kelamaan daerah sana berubah namanya menjadi Lombok. Dan Karena
orang yang pertama kali menemukan pulau tersebut dengan berlayar ke
timur menggunakan perahu cadik, maka suku dearah sana di beri nama Orang
Sasak yang berarti bercadik. Karena telah lama tinggal disana, mereka
mulai terbiasa dengan penduduk asli yang tinggal disana. Waktu berlalu
cukup lama dan kemudian mereka mendirikan kerajaan Lombok termpat
kerajaan itu sekarang disebut labuhan Lombok. Kerajaan Lombok menjadi
besar banyak pedangan yang berdatangan disana para pedagang dari Tuban,
Gresik, Makasar, Banjarmasin, Ternate, Tidore, bahkan Malaka. Hingga
akhirnya Kerajaan Lombok diserang oleh kerajaan Majapahit dan akhirnya
kalah. Tetapi Raja dan permaisurinya dapat melarikan diri dan mendirikan
kerajaan baru Yang diberi nama Watuparang di sebuah Gunung.
Pulau Lombok yang memiliki luas 473.780 hektare ini tak hanya menyimpan
kekayaan wisata alam semata. Bicara Pulau Lombok maka pikiran menerawang
ke hamparan pantai Senggigi yang eksotis, indah, dan menawan. Pantai
berpasir putih dengan deburan ombak kecilnya ini sayang untuk
dilewatkan. Tak heran bila banyak wisatawan mancanegara maupun wisatawan
Nusantara menyinggahinya.
Akhirnya dengan berlalunya waktu nama lomboq berubah menjadi lombok dan
suku sak – sak di sana berubah namanya menjadi Sasak. di Mataram, ibu
kota provinsi Nusa Tenggara Barat, Nama Selaparang yang juga berasal
dari nama suku dan pulau ini diabadikan menjadi nama lapangan terbang
dan nama jalan protokol.
Read more at: http://cerita-rakyat.com/asal-mula-nama-lombok/
Read more at: http://cerita-rakyat.com/asal-mula-nama-lombok/
Asal Mula Nama Lombok
Lombok adalah nama yang berarti cabe dalam bahasa Jawa dan juga
merupakan salah satu pulau yang ada di Kepulauan Nusa Tenggara Barat. Di
kepulauan Lombok ini terdapat suku bangsa yang bernama Sasak. Dari
bahasa dearah suku sasak di daerah sana Lombok di baca “ Lombo “ artinya
lurus dan suku bangsa sasak berarti perahu bercadik. Ikutilah cerita
berikut ini tentang Asal Usul Pulau Lombok dan suku Sasak di daerah
sana.
Dahulu kala, Kerajaan Mataram di Jawa Tengah dipimpin oleh seorang raja
wanita yang ahli dalam pemerintahan dan bernama Pramudawardhani.
Suaminya Rakai Pikatan dia ahli dalam ahli peperangan. Wilayah
kekuasaannya terbentang luas di daratan Jawa dan sekitarnya. Ketika
itulah banyak rakyat Mataram pergi berlayar ke arah timur melalui Laut
Jawa menggunakan perahu bercadik.
Konon mereka berlayar ke arah timur untuk menghindari pekerjaan berat
yang sedang berlangsung. Karena pada zaman itu Candi – candi seperti
Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan Candi Kalasan sedang dibangun.
Demikianlah mereka berlayar terus ke arah timur hingga menemukan sebuah
daratan dan mereka berlabuh di daratan tersebut, daratan tempat mereka
berlabuh tersebut diberi nama Lomboq (lurus), untuk mengenang perjalanan
panjang.
Setelah beberapa waktu berlanjut, Lomboq menjadi nama dearah di sana dan
lama kelamaan daerah sana berubah namanya menjadi Lombok. Dan Karena
orang yang pertama kali menemukan pulau tersebut dengan berlayar ke
timur menggunakan perahu cadik, maka suku dearah sana di beri nama Orang
Sasak yang berarti bercadik. Karena telah lama tinggal disana, mereka
mulai terbiasa dengan penduduk asli yang tinggal disana. Waktu berlalu
cukup lama dan kemudian mereka mendirikan kerajaan Lombok termpat
kerajaan itu sekarang disebut labuhan Lombok. Kerajaan Lombok menjadi
besar banyak pedangan yang berdatangan disana para pedagang dari Tuban,
Gresik, Makasar, Banjarmasin, Ternate, Tidore, bahkan Malaka. Hingga
akhirnya Kerajaan Lombok diserang oleh kerajaan Majapahit dan akhirnya
kalah. Tetapi Raja dan permaisurinya dapat melarikan diri dan mendirikan
kerajaan baru Yang diberi nama Watuparang di sebuah Gunung.
Pulau Lombok yang memiliki luas 473.780 hektare ini tak hanya menyimpan
kekayaan wisata alam semata. Bicara Pulau Lombok maka pikiran menerawang
ke hamparan pantai Senggigi yang eksotis, indah, dan menawan. Pantai
berpasir putih dengan deburan ombak kecilnya ini sayang untuk
dilewatkan. Tak heran bila banyak wisatawan mancanegara maupun wisatawan
Nusantara menyinggahinya.
Akhirnya dengan berlalunya waktu nama lomboq berubah menjadi lombok dan
suku sak – sak di sana berubah namanya menjadi Sasak. di Mataram, ibu
kota provinsi Nusa Tenggara Barat, Nama Selaparang yang juga berasal
dari nama suku dan pulau ini diabadikan menjadi nama lapangan terbang
dan nama jalan protokol.
Read more at: http://cerita-rakyat.com/asal-mula-nama-lombok/
Read more at: http://cerita-rakyat.com/asal-mula-nama-lombok/